Kamis, 20 Oktober 2011

Pemda Ngada Versus Media (Pasca Mencuatnya Sejumlah Isu Kelaparan)

Bajawa, FajarBali------Profesi kewartawanan adalah salah satu institusi yang sangat penting dalam sebuah bangsa, dan dijamin oleh UU Tentang Pers No 40 Tahun 1999. Bagaimanapun ini hanya dapat dilakukan jika pelaku kewartawanan itu memahami tanggungjawab profesionalnya serta norma hukum bagi meningkatkan peranannya sebagai penyebar maklumat yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, memperluas komunikasi dan penyertaan masyarakat. Selama ini hubungan antara pemerintah dan media, khususnya media alternatif, selalu ditandai dengan tidak adanya hubungan harmonis. Nasi sudah menjadi bubur, Pemberitaan krisis pangan di Uluwae dipandang menjadi antiklimaks atas renggangnya harmonisasi insan pers dengan pemerintah Ngada, sejumlah petinggi terkesan reaksioner dalam menyikapi pemberitaan krisis pangan. Saling tuding, saling tunjuk, sikap sinisme dan langkah seribu ditampakkan terhadap insan pers, dengan alasan pers telah menyalahi kode etik karena semua berita yang menyangkut pemerintah harus dikonfirmasi terlebih dahulu, dan tak mau kalah sejumlah kuli tinta, mengatakan sejumlah berita yang hendak diturunkan tidak bisa ditunda, apalagi pejabat yang ditunjuk terkadang ogah-ogahan bertemu dengan wartawan dengan seribu alasan. Perang dingin antara pemda dengan pers bukan tidak mungkin menjadi perang terbuka yang tentu menimbulkan ekses negative yang tak memberikan nilai tambah bagi kedua belah pihak.
Prinsip kesetaraan dalam bekerja sama diperlukan di antara media dan pemerintah karena kedua pihak tersebut saling membutuhkan. Pihak pemerintah membutuhkan peran media sebagai wadah untuk mensosialisasikan apa yang telah dikerjakan kepada masyarakat dan pihak media sendiri membutuhkan pemerintah sebagai sumber berita. Take and give kedua belah menjadi sebuah mata rantai yang seharusnya tidak boleh putus. Polemik Pangan di Translok Uluwae, Rawan Pangan di Desa Sebowuli Aimere, Penerapan KTP Elektronik yang terancam gagal dikabupaten Ngada, Pelayanan RSUD Bajawa yang sempat amburadul, Program Perak (Perekonomian Rakyat) yang masih kelimpungan mencari formulanya dan belum lagi masalah defisit anggaran yang menurut informasinya mencapai milyaran rupiah. Ini semestinya menjadi isu perekat dan bukan malah sebaliknya disatu pihak ada yang merasa kebakaran jenggot atas pemberitaan ini. Bisa jadi ada organ structural dalam tubuh pemerintahan yang harus segera disembuhkan agar SKPD (satuan kerja perangkat daerah) tidak terinfeksi dengan pola pikir yang picik dan sempit. Fungsi control social yang dijalankan oleh media sekiranya disikapi dengan arif dan bijak, bukan malah sebaliknya menjadi pemicu perseteruan. Adu argumentasi, unjuk data disana-sini menjadi cermin kebijakan kelabakan yang masih menjadi tradisi klasik yang masih dilakukan, satu pihak mengklaim fenomena kelaparan karena masyarakat di Uluwae pemalas dan sejenisnya, disisi lain pihak pers beralasan kelaparan diakibatkan gagal panen secara beruntun. Begitu pula kasus di Sebowuli-Aimere, bila kebiasaan makan batang pisang bukan lagi dianggap barang aneh ditengah pemerintah pusat gencar mendengungkan menu “Empat Sehat Lima Sempurna”, untuk apa lagi para pejabat pulang pergi ke Jakarta mengadopsi pola hidup yang diidam-idam dan menjadi Konsensus rakyat Indonesia dengan apa yang diartikan sebuah kesejahteraan. Temuan media bukan lagi dianggap sebagai sebuah karya jurnalistik namun dianggap sebagai karya mencemooh kebijakan pemerintah, dan bila sikap phobia seperti ini dikembangkan bukan mustahil menjadi bumerang yang berkepanjangan.
Catatan media takkan terlupakan sepanjang masa, karena sejarah akan membukukannya, segenap prestasi maupun prestise tak terkecuali. Oleh karena itu, pemerintah harus mengetahui cara kerja media serta apa yg diperlukan oleh media dari pemerintah sebagai narasumber sehingga salah pengertian dalam berkomunikasi tidak perlu terjadi. Bagi kalangan masyarakat tertentu, khususnya tokoh pemerintahan, media massa merupakan infrastruktur kekuasaan. Adapun dimuatnya kebijakan-kebijakan, perundang-undangan, peraturan-peraturan, merupakan refleksi dari keterlibatan kalangan dominant class. Di lain pihak, kalangan masyarakat umum mengharapkan media massa sebagai alat kontrol social dan perubahan. Besarnya pengaruh media ini disadari oleh banyak pihak, oleh karena itu wajar jika media kemudian menjadi “lahan perebutan” bagi berbagai kelompok untuk menyuarakan kepentingan. Kendati tak kasat mata dan tak terdengar telinga, akan tetapi “perebutan” ini sebenarnya sangat riuh. Sebuah silent war, perang sunyi yang melibatkan seluruh stakeholders media, baik internal maupun eksternal.
McQuail (1998) menggambarkan “silent war” itu. Pihak pemerintah—misalnya—menginginkan agar media berfungsi sebagai sarana pemeliharaan integritas bangsa, sarana pemeliharaan kestabilan politik, dan sebagainya. Pihak khalayak mengharapkan media massa berfungsi sebagai sumber informasi yang terpercaya, sarana pengetahuan dan budaya.
Idealnya memang, media massa yang baik adalah yang dapat mengadopsi kepentingan seluruh stakeholders.
Ditengah semaraknya ritus keagamaan yang menggelar sejumlah aksesoris perayaan yang dilakukan oleh masyarakat, tampaknya tak mau kalah pemerintah ikut-ikutan menggelar pesta syukuran Ultah perdana pemerintahan yang baru periode 2010 – 2015 di Lupijo Kecamatan Aimere yang menurut informasi acara ini merupakan kunjungan kerja. Berdasarkan pantauan media akibat perhelatan ini berakibat terganggunya pelayanan public hampir selama 3 hari. Lagi-lagi media memberi catatan kaki terhadap segala kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah agar tak menyalahi koridor alias kebablasan yang bisa berakibat program pemerintah yang dicanangkan menjadi carut marut. Tergambar sudah apa yang menjadi titik persoalan yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, cara pandang yang berbeda dan menarik garis batas yang berbeda pula yang barangkali ini menjadi fase jenuh bagi segelintir petinggi yang menerapkan pembusukan dalam system pemerintahan yang hanya bekerja ABS alias Asal Bapak Senang. Boleh jadi penalaran ini masih menjadi sebuah pertanyaan, lalu langkah apa yang bisa menjembatani retaknya insan pers dengan pemda Ngada ? tentu tak semudah membalikkan telapak tangan, karena semua punya otoritas. Rekonsiliasi memang dibutuhkan namun tidak bisa dipaksakan.
Ibarat mesin yang terlanjur panas, memang diperlukan waktu untuk mendinginkan agar perfoma yang diharapkan dapat terwujud. Kiranya sejumlah isu sentral yang beberapa pekan ini disuarakan sejumlah media elektronik dan media cetak di Kabupaten Ngada mendapat atensi yang serius dari pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan bukan tidak mungkin bila fakta yang disajikan justru diacuhkan akan menjadi bola panas yang mengarah pada ‘mosi tidak percaya pada pemerintah daerah’. Disadari atau tidak uraian diatas menjadi cermin bila titik penalaran tidak mempunyai garis singgung yang tepat akan berakibat fatal, disatu sisi kebijakan pemerintah gagal dipublikasikan dan disatu sisi media kehilangan mitra penting sebagai narasumber yang dibutuhkan. Coba tengok beberapa fenomena robohnya kekuasaan yang diawali memburuknya komunikasi pejabat pemerintah dengan mass media yang melahirkan rasa curiga antara pemerintah dan rakyatnya akibat bias dari perseteruan antara pers dengan pemerintah. Masih ada waktu untuk memperbaiki, saling instropeksi dan bila perlu beberapa petinggi pemerintahan yang tidak cakap memang harus diganti (Demosi/dicopot), agar komunikasi dan interaksi antara pemerintah dan media terjembatani. Bukan hanya itu insan media di Kabupaten Ngada menuding ada sesuatu yang tersembunyi pada ruang komunikasi di era transparansi. Terbiasa menganak emaskan dan menganak-tirikan yang pernah menjadi tradisi pemerintahan sebelumnya, yang sebenarnya tak pantas lagi untuk diwarisi pada pemerintahan saat ini yang dikurung pada era digital. Perubahan dan strategi besar yang dislogankan oleh Pemda Ngada mau tidak mau harus bergandeng tangan dengan insan media. Zaman telah berubah, dihapuskannya SIUPP telah terbukti membawa ledakan jumlah media-massa di Indonesia. Persaingan ketatpun terjadi,sehingga memunculkan satu trend penting: media makin tersegmentasi tidak hanya berdasar profil ekonomi-sosial pembaca, tapi juga berdasar hobi/interest dan geografis, simak munculnya media lokal dan komunitas. Dalam ranah media massa cetak, lahir ratusan koran, majalah dan tabloid baru, baik yang berskala nasional maupun lokal. Demikian pula dunia maya (cyberspace), situs-situs bertajuk berita pun bertebaran. Kondisi ini meniscayakan adanya sebuah kondisi bahwa pemerintah tidak lagi monopolistik dalam mengelola informasi dan “mengatur” konten yang disampaikan melalui media massa. Jadi kesimpulannya apapun isu sentral yang menjadi topik hangat ditawarkan insan media di Kabupaten Ngada dalam sebuah pemberitaan faktanya dilakukan berdasarkan kajian yang tidak mengada-ada, namun didasarkan pada sebuah realita. Ada aksi dan pasti ada reaksi…namun kedua-duanya harus mengandung isi (bobot). Menilik pasal 4 ayat 3 UU Tentang Pers No 40 Tahun 1999, yang berbunyi….pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarkan gagasan dan informasi. Serta ditopang oleh pasal 6 ayat d, yang berisi pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dan kepentingan umum. Bila pekerja media bekerja keras se-irama dengan ketentuan Undang-Undang Pers, lalu yang menjadi pertanyaan ada persoalan apa antara sejumlah awak media versus pemerintah daerah Ngada. Barangkali hanya Tuhan Yang tahu. (fb/risdiyanto)

Tidak ada komentar: