Selasa, 28 Juli 2009

Antara Profesionalisme dan Primordialisme Kebijakan di Bumi NTT

Antara Profesionalisme dan Primordialisme Kebijakan di Bumi NTT
(Otonomi Setengah Hati)

Moment reformasi dan transisi demokrasi yang direbut oleh gerakan mahasiswa dan gerakan masyarakat sipil lainnya pada tahun 1998 telah dibajak oleh kepentingan elit-elit politik yang tak kalah korupnya dengan elit-elit politik Orde Baru dan memperhamba diri kepada kuasa modal. Elit-elit politik Orde Baru yang bergincu reformis gadungan, senyatanya semakin dalam mengakumulasi pengerukan kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup, penghisapan tenaga-tenaga rakyat, dan menyuburkan kekerasan. Proses-proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat ini telah mengakibatkan terjadinya krisis yang tak terpulihkan.
Krisis social budaya terjadi karena proyek-proyek pembangunan dan perluasan investasi telah meluluhlantakan basis social antara rakyat dan Negara, rakyat dan pemodal, juga rakyat dengan rakyat semakin kompleks serta tak terselesaikan. Konflik-konflik social meningkat dengan dukungan kekuatan militeristik dari pihak yang berkuasa dan kuat. Ambruknya system kebudayaan rakyat tak mampu melakukan reproduksi social bagi keberlanjutan kehidupan generasi masa depan.
Krisis ekologi terjadi karena Negara, pemodal, dan system pengetahuan ‘modern’ telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek. Ekspansi system monokultur, eksploitasi hutan, industry keruk kekayaan tambang telah mengganggu dan menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan kesimbangan alam. Privatisasi kekayaan alam hanya diperuntukkan semata-mata tujuan komersial, bahkan dengan alasan konservasi sekalipun telah menjauhkan akses dan control rakyat pada sumber-sumber kehidupan (agraria-sumber daya alam). Pada gilirannya, berbagai bencana lingkungan, seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana yang harus diderita oleh rakyat dari tahun ke tahun.
Musuh otonomi bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah dirinya sendiri. Selain kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah, interaksi social di daerah ini masih diwarnai primordialisme yang kental. Dari gejala ini, otonomi tampaknya justru akan menciptakan jarak social diantara kelompok masyarakat.
Paul Ngganggung SVD mengkategorikan tiga pola dalam interaksi masyarakat NTT, yakni pola partikularis, afektif, dan difus. Pola partikularis adalah kecenderungan untuk berinteraksi ‘hanya’ dengan orang-orang yang mempunyai hubungan khusus, seperti agama yang sama, daerah sama, atau suku yang sama.
Sedangkan pola afektif adalah kecenderungan untuk berinteraksi atas dasar suka dan tidak suka, senang dan tidak senang. Orang bergaul dengan orang yang disukai, tetapi tidak berbaur dengan orang yang tidak disukai. Sedangkan pola difusi adalah pola campur baur, yakni dalam berinteraksi mencampur urusan politik dengan urusan keluarga, ekonomi atau agama.
Faktor lain yang cukup berpengaruh dalam interaksi masyarakat NTT adalah kondisi ekonomi yang miskin. Dengan latar belakang itu, ekonomi dan politik berjalan bersama, bahkan politik menjadi alat kepentingan ekonomi serta dijadikan kesempatan untuk kaya. GEJALA PRIMORDIAL tampak jelas saat terjadi interaksi politik. Dikotomi orang kami dan bukan orang kami, muncul dipermukaan. Pilih orang kami atau kita, dan jangan pilih orang kita. Dampak dari interaksi politik ini adalah memberi peluang memilih pemimpin yang sebetulnya tidak mampu, tetapi dia menjadi pemimpin karena orang kita atau karena relasi primordial.
Selain pengaruh primordial, menurut Paul Ngganggung, interaksi masyarakat NTT juga dipengaruhi budaya. Nilai-nilai budaya, keyakinan agama atau tradisi adalah unsur budaya yang sering menyelip masuk dalam suatu interaksi didaerah ini. Agama punya peranan besar dalam interaksi politik, pendidikan, dan ekonomi. Dalam hal ini juga terjadi dikotomi kita atau kami dan mereka. Mereka beragama itu dan kita beragama ini. Pada saat agama menjadi menjadi factor penentu satu interaksi, situasi potensial konflik akan berkembang. Dalam situasi rawan ini, interaksi menjadi basa-basi, kucing-kucingan dan artificial.
Masyarakat NTT, yang saat ini sibuk dengan acara-acara pelantikan pejabat pelaksana otonomi, juga menimbulkan dikotomi orang asli daerah dan bukan asli daerah. Otonomi diterjemahkan harus asli daerah atau orang asli yang sudah ada di daerah. Masyarakat enggan menerima orang luar, bukan saja orang bukan asli daerah, tetapi juga orang asli di luar daerah.
Otonomi dilihat sebagai kesempatan kerja atau kesempatan promosi bagi orang luar daerah. Kesempatan itu tidak boleh diambil orang luar. “entah ke mana semua orang Manggarai bekerja kalau tamat sarjana. Sebab, kabupaten lain mungkin takkan menerimanya,” kata Paul. Pola interaksi ini member gambaran suram bagi NTT untuk otonomi. Bahkan, otonomi justru menciptakan jarak social antara orang NTT. Padahal, interaksi akan menjadi factor pendukung otonomi, sejauh tekanan otonomi pada pemberdayaan kemampuan local atau pembudayaan sikap otonom belum terbiasa pada pada masyarakat NTT. Dalam hal ini, kata Paul, masyarakat NTT harus terbuka terhadap profesionalisme dari luar, dan profesionalisme dibutuhkan untuk pemberdayaan komponen dasar otonomi. Keterbukaan akan merintis interaksi yang sehat dan konstruktif antara masyarakat NTT.
PRIMORDIALISME yang diutarakan Paul Ngganggung adalah realita yang tak bisa dipungkiri. Hal ini juga dikeluhkan Djidon de Haan, Asisten I Bidang Ketataprajaan Sekwilda NTT. Akibat realita itu, seringkali pemerintah setempat kesulitan menetapkan seorang pejabat yang memuaskan semua pihak. Djidon mengakui, jarak social yang tercipta, bahkan di tingkat aparat sudah terpolarisasi dan terdikotomikan. Akibatnya, aspek kualitas harus dikorbankan dengan dalih perimbangan. Misalnya empat jabatan asisten di lingkup Sekwilda NTT, dua dari Protestan dan dua dari Katolik. Pola ini seharusnya tidak dibenarkan, tetapi situasi masyarakat masih seperti itu, pola ini tak dapat dihindarkan.
Beda dengan aspek kuantitas, jumlah aparat di NTT tercatat 78.159 orang, termasuk 15.000 orang dari TIMTIM dan ribuan lainnya dari instansi vertical. Saking banyaknya jumlah aparat, tak asing ditemukan banyak pegawai mengantar istri ke pasar dan anak ke sekolah pada jam-jam kerja. Untuk aspek kualitas, Djidon mengakui, aparat NTT belum siap. Pemerintah Provinsi NTT juga pernah mencoba mendatangkan psikolog dari TNI AD untuk melakukan tes bagi calon pemimpin di daerah ini. Hasilnya, tidak satupun yang bisa jadi pemimpin. Ini bisa dimaklumi, karena rekrutmen 20 tahun yang lalu asal comot.
Untuk menuju kesiapan aparat ber-otonomi, Djidon berpendapat, yang pertama harus dilakukan adalah brain washing (cuci otak) para aparat yang semula berparadigma Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1974 ke paradigm baru Undang-Undang Nomer 22 Tahun 1999. Dalam era otonomi, peran aparat diharapkan bisa melayani, menfasilitasi dan memperdayakan masyarakat sehingga diperlukan reorientasi visi dan misi yang jelas agar tercipta suatu kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya kreatifitas, prakarsa dan peran serta masyarakat untuk membangun.
Keberhasilan otonomi tidak terlepas dari tersedianya aparat yang professional, baik dalam integritas, moralitas, dan etika yang tinggi. Karena itu, djidon berharap, di masa mendatang akan berlaku Undang-Undang Kepegawaian baru yang mengharuskan seseorang mendapatkan jabatan melalui uji kelayakan dan kepantasan yang kini popular dengan nama fit and proper test. Aparatur pemerintah yang ideal, kata Djidon, adalah mereka yang mimpinya sama dengan mimpi rakyat, walaupun dalam kenyataannya mereka tidur di dua tempat yang terpisah. Kecenderungan terjadinya posisi berhadapan antara pemerintah dan masyarakat akhir-akhir ini harus dijawab melalui hadirnya aparatur pemerintah yang professional, juga memiliki hati nurani yang sensitive terhadap aspirasi yang berkembang.
Kalau sepakat dengan profesionalisme, sebaiknya jabatan structural dihapus saja agar tidak berkembang lagi primordilisme TERSELUBUNG

Penulis : Ketua LSM CERDAS BANGSA DPC Kab. Ngada – NTT
Mikael Risdiyanto SB