Jumat, 27 Maret 2009

Daftar Kota Terkorup di Indonesia

Januari 22, 2009
Kota Terbersih hingga Terkorup dan 15 Institusi Publik
Transparency Internasional Indonesia melakukan survei terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 50 kota di Indonesia. Hasilnya, Yogyakarta merupakan kota terbersih dan Kupang menyandang gelar kota terkorup.
Hasil ini juga dapat diidentikkan dengan urutan pemda terkorup di Indonesia. Inilah urutan IPK 50 kota yang telah disurvei TII dari tertinggi hingga terendah atau yang terbersih sampai kota yang paling korup.
1. Yogyakarta dengan skor 6,43, (TERBERSIH)
Terpilihnya Yogyakarta sebagai kota terbersih dimungkinkan mengingat sejak 2006 dibentuk Dinas Perizinan yang merupakan pengembangan dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Belum lama ini, Pemerintah Kota Yogyakarta bahkan mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima 2008. Hal itu terkait dengan keberhasilannya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik.
2. Palangkaraya (6,10),
3. Banda Aceh (5,87),
4. Jambi (5,57),
5. Mataram (5,41),
6. Surakarta (5,35),
7. Tasikmalaya (5,12),
8. Banjarmasin (5,11),
9. Samarinda (5,03),
10. Pangkal Pinang (5,03).
11. Ternate (5,01),
12. Jayapura (5,01),
13. Malang (5),
14. Jember (4,96),
15. Kediri (4,9),
16. Balikpapan (4,86),
17. Gorontalo (4,83),
18. Makassar (4,7),
19. Padang (4,64),
20. Sampit (4,6).
21. Semarang (4,58),
22. Bandar Lampung (4,58),
23. Serang/Cilegon (4,57),
24. Palu (4,5),
25.Bengkulu (4,46),
26. Batam (4,44),
27. Sorong (4,39),
28. Tenggarong (4,38),
29. Tanjung Pinang (4,35),
30. Ambon (4,32).
31. Surabaya (4,26),
32. Denpasar (4,25),
33. Sibolga (4,25),
34. Lhokseumawe (4,14),
35. Mamuju (4,08),
36. Jakarta (4,06),
37. Manado (3,98),
38. Pematang Siantar (3,96),
39. Palembang (3,87),
40. Medan (3,84),
41. Cirebon (3,82),
42. Pontianak (3,81),
43. Bandung (3,67),
44. Padang Sidempuan (3,66),
45. Pekanbaru (3,55),
46. Purwokerto (3,54),
47. Kendari (3,43),
48. Manokwari (3,39),
49. Tegal (3,32),
50. Kupang-2,97 (Terkorup).
Survei IPK TI Indonesia dilakukan pada September sampai Desember 2008, bertujuan untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan pelaku bisnis setempat. Penelitian TI Indonesia juga mengukur tingkat kecenderungan terjadinya suap di 15 institusi publik di Indonesia yang ditampilkan dalam indeks suap.
Total sampel dari survei tersebut adalah 3.841 responden yang berasal dari pelaku bisnis (2.371 responden), tokoh masyarakat (396 responden), dan pejabat publik (1.074 responden). Selain itu LSM Transparency International (TI) Indonesia juga melakukan penelitian terhadap 15 institusi publik di 50 kota di Tanah Air., indeks suap yang diperoleh adalah
1. polisi (48 persen),
Polisi lembaga yang paling rentan suap, dalam Indeks Suap pengukuran dilakukan dengan menghitung rasio kontak antara pelaku bisnis dan institusi publik yang terjadi suap, dibanding total kontak yang terjadi. Indeks Suap polisi mencapai 48%, yang berarti dari total interaksi antara responden pelaku bisnis dengan institusi tersebut (n=1218), hampir setengahnya terjadi suap. Hasil ini masih relevan dengan hasil Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan Transparency International pada tahun akhir 2007 lalu.
2. bea dan cukai (41 persen),
3. kantor imigrasi (34 persen),
4. Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (33 persen),
5. pemerintah daerah/kota (33 persen),
6. dan Badan Pertanahan Nasional (32 persen).
Selain itu, institusi publik lainnya yang diukur adalah Pelabuhan Indonesia (30 persen), pengadilan (30 persen), Departemen Hukum dan HAM (21 persen), Angkasa Pura (21 persen), Pajak Daerah (17 persen), Departemen Kesehatan (15 persen), Pajak Nasional (14 persen), Badan Pengawas Obat dan Makanan (14 persen), dan Majelis Ulama Indonesia (10 persen).
sumber : KOMPAS, REPUBLIKA dan TI Indonesia

Asa di Bumi Ngada

Obyek wisata Malanange dibiarkan 'perawan'
Laporan Aris Ninu, SPIRIT NTT, 14-20 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT--
Lokasi air panas Malanage, Desa Dariwali, Kecamatan Jerubuu, Kabupaten Ngada, belum dikelola menjadi obyek wisata yang bisa memberi kontribusi pada pendapatan asli daerah (PAD). Obyek wisata air panas yang masih 'perawan' ini belum diperhatikan dan ditata pemerintah agar bisa dikunjungi wisatawan.
Selain air panas, di Kecamatan Jerubuu, ada obyek wisata budaya berupa Kampung Adat Bena di Desa Tiworiwu dan Gunung Inerie yang cocok untuk wisata pendakian.
Pantauan SPIRIT NTT pekan lalu di lokasi air panas Malanage yang berada ditepi ruas jalan ke Desa Naruwolo, air panas yang dihasilkan suhunya jauh lebih panas dibanding dengan air panas Mangeruda.

Air panas Malanage mengalir dari lereng bukit yang berdekatan dengan Gunung Inerie. Lokasi air panas ini belum dikelola Pemkab Ngada untuk menjadi sebuah obyek wisata.
Di sekitar kawasan ini tumbuh subur tanaman-tanaman keras dan tanaman perkebunan seperti kakao, cengkeh dan tanaman perkebunan lainnya.
Fransiskus, warga Dariwali, menuturkan, air panas Malanage lebih panas dari air di Mangeruda. "Jika ada orang yang ingin mandi harus ke tempat pertemuan air panas dan air dingin yang berada di bawah. Air di bagian atas selama ini tidak bisa dipakai rendam badan karena terlalu panas," ujarnya.
Menurut Frans, suhu air panas di lokasi itu bisa dipakai untuk merebus telur.
Veronica, warga Jerubuu, kepada SPIRIT NTT, mengatakan, air panas Jerubuu bisa dijadikan obyek wisata karena banyak pengunjung lokal dari Kecamatan Bajawa setiap minggu dan hari libur datang ke lokasi ini untuk rekreasi.
"Saya tinggal di Bajawa namun baru kali ini datang ke Jerubuu. Ternyata ada air panas yang jauh lebih panas dibanding air di Mangeruda. Obyek ini perlu diperhatikan dan dijadikan obyek wisata yang bisa dikunjungi wisatawan," tambah Hendrik, warga Bajawa.
Untuk diketahui, Kecamatan Jerubuu mekar dari Kecamatan Aimere pada tahun 2000. Jerubuu terkenal dengan kawasan perbukitan dan lereng gunung yang memiliki potensi alam yang indah guna dijadikan obyek wisata.
Kawasan Jerubuu berada di sekitar kawasan gunung berapi Inerie. Obyek lain yang membuat Jerubuu dikenal yakni masyarakat di kecamatan ini masih menghormati leluhur. Budaya dan adat istiadat masih dipegang. Dan di wilayah ini terdapat obyek wisata Kampung Adat Bena di Desa Tiworiwu (18 km dari Bajawa) dengan sejumlah peninggalan leluhur yang bernilai budaya tinggi. Sampai sekarang peninggalan itu masih ada dan dihormati.
Resor peternakan 'bersihkan' rabies
Laporan Aris Ninu, SPIRIT NTT, 14-20 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT--Sebanyak 1.669 ekor anjing di wilayah Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, telah divaksin anti rabies oleh petugas Resor Peternakan Bajawa. Pemberian vaksi dilakukan sejak 10-22 Desember 2007. Pihak Resor Peternakan kini sedang melakukan vaksin anjing di wilayah Bajawa sebagai upaya membebaskan Ngada dari rabies.
Demikian Kepala Resor Peternakan Kecamatan Bajawa, drh. Florentina Tina Nono, kepada SPIRIT NTT di ruang kerjanya, Jumat (10/1/2008).
Tina Nono didampingi stafnya, Ronald Repu, S.Pt, menjelaskan, 1.669 ekor anjing yang divaksin petugas berada di 6 desa dan 5 kelurahan di Kecamatan Bajawa. Kegiatan vaksin akan dilanjutkan ke desa-desa lainnya di Kecamatan Bajawa. Sedangkan anjing yang ada di Kelurahan Ngedukelu dan Kisanata belum divaksin.
Tina Nono mengatakan, anjing yang ada di Kelurahan Tana Lodu dan Jawameze, telah ada kesepakatan untuk dieliminasi total. "Anjing di dua kelurahan di Kecamatan Bajawa itu dieliminasi total. Kami akan turun lagi untuk vaksin anjing yang ada di Kecamatan Bajawa," tegasnya.
Tentang kenapa masyarakat di Kecamatan Bajawa masih memelihara anjing, Tina Nono menjelaskan, berdasarkan pengakuan masyarakat, mereka memelihara anjing untuk berburu, menjaga kebun dari serangan babi hutan dan kera. Anjing pun dipelihara untuk menjaga rumah serta tanaman di kebun. Selain itu, anjing sebagai ternak pengganti babi untuk upacara adat.
"Tiga hal itu yang berpengaruh sehingga orang Bajawa masih memelihara anjing. Tetapi upaya mencegah rabies tetap kami lakukan dimana setiap tiga bulan dan enam bulan sekali dilakukan vaksinasi," tambahnya.
Mengenai kasus gigitan anjing di Bajawa, dia mengaku, ada kenaikan."Masyarakat di Kecamatan Bajawa punya kesadaran saat petugas melakukan vaksin di lapangan. Masyarakat dengan kesadaran membawa anjing ke kantor desa untuk divaksin. Ada juga yang kami temui di perkampungan mereka," tuturnya.

Kuruboko kembangkan teknologi pertanian
Laporan Aris Ninu, SPIRIT NTT, 14-20 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT--Para petani di Kuruboko, Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze, Kabupaten Ngada, mulai melirik teknologi pertanian intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) yang telah diperkenalkan di Ngada 18 Desember 2007 lalu.
Petani Kuruboko telah mengajukan permohonan melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Ngada guna mengembangkan teknologi tersebut. IPAT-BO adalah teknologi pertanian yang hemat benih, air dan pupuk yang dapat meningkatkan produksi padi.
Camat Wolomeze, Christian Haning, kepada SPIRIT NTT di Wolomeza, Selasa (8/1/2008), menjelaskan, kawasan persawahan Kuruboko berada di Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze. Kawasan tersebut cocok untuk pengembangan IPAT-BO sehingga ada kelompok tani yang ingin mengembangkan dan menanam padi menggunakan teknologi tersebut.
"Saya menyambut baik keinginan petani di Kuruboko dan siap memfasilitasi pertemuan untuk memperkenalkan teknologi tersebut," kata Haning.
Kadis Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Ngada, Ir. Awa Maria Simon, melalui Kasi Pengembangan Kapasitas Kelembagaan, Samuel Kebang, saat ditemui di Bajawa, Senin (7/1/2008), mengatakan, petani di Kuruboko telah menemuinya untuk menyampaikan keinginan mengembangkan teknologi IPAT-BO di Desa Nginamanu. Namun perlu ada pelatihan agar mereka memahami betul-betul teknologi itu. Petani perlu diberitahu cara menanam, menyamai bibit, cara memberikan pupuk dan masalah pengaturan air. Dijelaskan Kebang, tahun 2008 ini pihaknya menyosialisasikan teknologi tersebut kepada semua petani di Ngada.
Perwakilan PT SMS-Jakarta di Kabupaten Ngada, Ny. Eufrasia Lay sebagai agen pupuk ABG yang bekerja sama dengan Pemkab Ngada guna pengembangan teknologi pertanian IPAT-BO, mengatakan, petani di Lindi, Desa Benteng Jawa, Kecamatan Riung Barat telah menemuinya guna mengembangkan teknologi tersebut. Tetapi ia akan memberikan pelatihan terlebih dahulu.
Anggota DPD hadiri penanaman 1.000 pohon
Laporan Aris Ninu, SPIRIT NTT, 14-20 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT--Masyarakat di Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, telah menaman 1.000 anakan pohon, yakni mahoni 600 anakan dan gayan 400 anakan. Penanaman anakan dihadiri anggota DPD RI, Frans Assan, Camat Soa, Yohanes Ngebu, perangkat desa dan para mosalaki (tua adat).
Demikian dikatakan Camat Soa, Yohanes Ngebu melalui Kepala Seksi (Kasi) PMD, Wili Gori, kepada SPIRIT NTT di Kantor Camat Soa, Selasa (8/1/2008).
Gori menjelaskan, penanaman seribu anakan pohon itu sebagai bagian dari keikutsertaan masyarakat mengantisipasi dampak pemanasan global yang dilaksanakan seluruh masyarakat di Indonesia.
Masyarakat Soa menanam anakan mahoni dan gayan di beberapa lokasi, yakni di lokasi kantor camat (300 pohon), lokasi mata air Fura Fuiga, Desa Seso ditanami sebanyak 300 pohon. "Penanaman dilakukan tanggal 14 Desember 2007 lalu," tuturnya.
Sedangkan pelajar SD, SMP dan SMA yang ada di Soa, kata Gori, dibagikan masing-masing 40 anakan gayan untuk ditanami di setiap sekolah. Para pelajar menanam di halaman sekolah dan masing-masing kebun sekolah.
Penanaman pohon yang dilakukan di Kecamatan Soa, tambah Gori, selain untuk mengurangi pemanasan global, juga menumbuhkan kesadaran masyarakat Soa untuk melestarikan lingkungan.
Pantauan SPIRIT NTT di Soa, tanaman mahoni ditanam di sekitar kantor camat sudah mulai tumbuh. Sebelumnya, pejabat lingkup Pemkab Ngada menanam 300 anakan mahoni di Turikisa, Kecamatan Golewa. Penanaman dipimpin Plt Asisten Tata Praja, Drs.Yohanes Isidorus Djawa. Kadishut Ngada, Ir. Benediktus Polo Maing, dalam laporan mengatakan, untuk kecamatan di Ngada penanaman dipimpin para camat masing-masing.
Cuaca buruk, sapi di Ngoranale mati
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 7-13 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT-- Diduga disebabkan cuaca buruk, ernak sapi milik masyarakat di Ngoranale, Kelurahan Susu, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, mati mendadak. Masyarakat menduga ternak sapi-sapi mati karena kedinginan. Ternak yang mati telah dipotong lalu dagingnya dikonsumsi/dimakan. Masyarakat tidak khawatir bahaya penyakit antraks.
Informasi yang diperoleh SPIRIT NTT, di Ngoranale, Kelurahan Susu, ketika memantau bencana angin di wilayah itu menyebutkan, enam ekor sapi milik masyarakat yang tidak dikandangkan itu mati mendadak.
Romanus Rodja, warga Ngoranale ditemui SPIRIT NTT di Ngoranale, Kamis (2/1/2007), mengatakan, ternak sapi yang mati diduga akibat kedinginan setelah hujan angin melanda wilayah tersebut beberapa pekan terakhir. Namun ia menjamin enam ekor sapi itu tidak terserang penyakit antraks atau penyakit aneh lainnya.
Selain sapi, Rodja mengatakan, tanaman jagung dan pisang di kebun milik petani di Ngoranale rusak berat disapu hujan angin. Ia mengkhawatirkan terjadi rawan pangan dan gagal panen dialami petani di Kelurahan Susu. "Jagung dan pisang serta tanaman lainnya rusak dan tidak ada harapan untuk tumbuh" tambah Lasarus Lako, petani di Ngoranale. *
Polisi wajib jaga citra
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 7-13 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT-- Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, AKBP Sugeng Kurniaji, meminta anggota polisi di daerah itu menjaga citra dengan menjadi panutan masyarakat.
Sugeng mengatakan hal ini ketika memimpin upacara kenaikan pangkat 79 anggota polres setempat di Lapangan Mapolres Ngada, Senin (31/12/2007) pagi. Pada acara serupa, Sugeng melantik 12 anggota magang di Polres Ngada menjadi penyidik.
Pantauan SPIRIT NTT di Markas Polres (Mapolres) Ngada, Senin (31/12/2007), upacara kenaikan pangkat dan pelepasan tanda magang diikuti anggota Polres Ngada. Hadir ibu-ibu anggota Bhayangkari dan anggota polisi yang bertugas di Kabupaten Nagekeo.
Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, AKBP Sugeng Kurniaji, melepas pangkat lama dan memasang pangkat baru kepada perwakilan yang naik pangkat.
Wakapolres Ngada, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Bambang K naik pangkat menjadi Komisaris Polisi (Kompol) dan Kasat Intelkam Polres Ngada, Iptu Tri Joko Biyantoro naik pangkat menjadi Ajun Komisaris Polisi (AKP) dan perwakilan anggota yang naik pangkat.
Kapolres Ngada, AKBP Sugeng Kurniaji menegaskan, kenaikkan pangkat adalah sebuah tantangan bagi semua anggota Polri dalam melaksanakan tugas kepada masyarakat.
Dengan kenaikkan pangkat tugas dan tanggungjawab yang dipikul semakin berat. "Dulu naik pangkat ditentukan oleh orang lain. Sekarang ini naik pangkat ditentukan oleh diri sendiri dan bukan ditentukan orang lain. Diri kita yang menentukan kita naik pangkat atau tidak. Naik pangkat itu hak tapi tidak bisa diambil dan diterima begitu saja," kata Sugeng.
Usai upacara kenaikkan pangkat dan pelepasan tanda magang dilakukan acara ramah-tamah. *
Satpol PP Ngada belum maksimal tegakkan Perda
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 7-13 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT-- Aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kabupaten Ngada belum berperan maksimal sesuai fungsinya untuk menegakkan peraturan daerah (perda) yang telah ditetapkan pemerintah. Indikasinya, masih banyak pegawai negeri sipil (PNS) yang belum ditertibkan jika tidak berada di kantor.
Selain itu, para pelajar SD, SMP dan SMA di Kota Bajawa masih banyak berkeliaran pada jam belajar dan nongkrong di kawasan pertokoan dan di Pasar Bajawa serta tempat umum lainnya.
Penilaian ini disampaikan Pimpinan DPRD Ngada, Yoseph Soladopo, kepada SPIRIT NTT di Kota Bajawa, belum lama ini. Soladopo berharap Satpol PP Ngada bisa lebih menunjukkan perannya dan juga bisa melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam menegakan peraturan daerah yang ada.
Soladopo menegaskan, pihaknya telah meminta Satpol PP agar berperan dalam menertibkan PNS yang sering bolos dan anak sekolah yang sering tidak ke sekolah dan berkeliaran di pasar, pertokoan dan tempat umum lainnya.
"Kami sudah merekomendasi hal yang cukup banyak kepada pemerintah agar Pol PP di Ngada dapat menunjukkan fungsi dan perannya sebagai penegak aturan di Ngada. PNS dan anak sekolah selama ini belum ditertibkan Satpol PP. Kami mengharapkan dengan adanya Kepala Satpol PP yang baru yang juga mantan Camat Riung Barat, Petrus Marsianus Sabe, S.H, agar bisa lebih mendinamisasi lembaga ini agar dapat peranan sebagai tupoksinya," kata Soladopo.
Pantauan SPIRIT NTT di Kota Bajawa, terutama di lokasi seperti Pasar Bajawa, tempat pertokoan dan tempat umum lainnya dalam beberapa pekan terakhir, tempat-tempat strategis ini sering jadi tempat mangkal anak sekolah. Namun, keberadaan anak sekolah yang harus berada di dalam kelas belum ditertibkan Satpol PP.
Ada juga PNS pada jam kantor sering ke pasar pakai pakaian dinas dan tidak berada di kantor untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. *
Ditindak, warga berkebun di lereng gunung
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 7-13 Januari 2008

BAJAWA, SPIRIT--Bupati Ngada, Drs. Piet Jos Nuwa Wea, meminta aparat dinas kehutanan setempat agar menindak tegas warga yang membuka lahan di lereng gunung untuk berkebun. Sebab, tindakan warga itu memicu banjir dan tanah longsor.
"Perbuatan itu hanya untuk mengundang banjir dan bencana lainnya," kata Bupati Nuwa Wea, pekan lalu, menanggapi tindakan warga setempat menanam padi dan jagung di lereng gunung. Umumnya tanah milik petani di daerah yang rata telah dijadikan lahan perkebunan yang ditanami kopi, kakao, cengkeh dan vanili.
Pemandangan ini terlihat di kawasan lereng gunung Jerebuu. Di kawasan ini hampir semua kawasan lereng gunung telah ditanami padi dan jagung. Sejumlah petani mengaku terpaksa memilih lereng gunung karena tanah milik mereka sudah rimbun ditumbuhi tanaman perdagangan.
Pantauan SPIRIT NTT di Dona, Desa Naruwolo, Kecamatan Jerebuu, Jumat (4/1/2008) siang, kawasan lereng gunung terlihat gundul karena hanya ditanami padi, jagung dan kacang-kacangan. Dikhawatirkan bakal terjadi banjir karena jenis tanaman itu tidak menyerap air.
Staf Dinas Kehutanan Ngada yang ditemui SPIRIT NTT di Jerubuu, menjelaskan, tanaman yang seharusnya ditanam dan tumbuh di kawasan gunung dan bukit adalah tanaman keras yang tahan banjir. Tanaman yang ditanam petani Jerubuu adalah tanamam semusim seperti jagung dan kacangan sehingga rawan longsor dan bencana. Diakui, Kecamatan Jerubuu adalah daerah yang memiliki kawasan pemukiman dan kebun yang berada di lereng gunung.
Disaksikan SPIRIT NTT mulai dari Desa Tiworiwu hingga ke Desa Naruwolo A dan Naruwolo B, kawasan gunung telah berubah menjadi lahan pertanian. Kadishut Ngada, Ir. Benediktus Polo Maing, mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan imbauan agar kawasan gunung jangan dijadikan kebun. Namun imbauan itu, katanya, belum diindahkan dan pihaknya akan melakukan pendekatan untuk memberikan masukan kepada para petani akan bahaya berkebun di kawasan gunung.
44.763 Ton mete Aimere diekspor ke Vietnam
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT, 31 Desember 2007- 6 Januari 2008
BAJAWA, SPIRIT-- Sejak November 2007, 44.763 ton jambu mete gelondogan dari lima desa di Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, diekspor ke Vietnam melalui seorang pengusaha di Surabaya, Jawa Timur.
Volume mete yang diantarpulaukan melalui Pelabuhan Labuan Bajo di Manggarai Barat ke Surabaya untuk ekspor sebanyak 44.763 ton. Dalam jual beli komoditi itu, para petani yang tergabung dalam Koperasi Karya Bersama, menjualnya dengan harga Rp 7.930,00/kg.
Hal itu dikatakan Kepala Dinas Perkebunan Ngada, Gerardus Mango, melalui Kasubdin Usaha Tani, Hengky Djawaluna, ketika ditemui SPIRIT NTT di kantornya, Rabu (19/12/2007). Saat itu Djawaluna didampingi Ketua Koperasi Karya Bersama petani mete Aimere, Yohanes Lape Boro.
Dia mengatakan, pada Oktober 2007, seorang pengusaha mente bernama Diana Damayanti dari CV Wahana Lintas Niaga Surabaya, datang ke Desa Aimere Timur guna melihat potensi mete yang ada di desa itu.
Dalam kunjungannya itu, Damayanti langsung menemui para petani yang tergabung dalam koperasi. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, dimana pengusaha bersedia membeli mete para petani dengan harga Rp 7.930,00/kg dan dibawa ke Surabaya lalu diekspor ke Vietnam.
Sekembali dari Kabupaten Ngada, kata Djawaluna, pengusaha tersebut langsung mendapat mete yang dikirim petani Aimere, pada 20 Oktober 2007. Saat itu, volume yang diantarpulaukan itu sebanyak 160.820 ton.
Pada 9 November 2007, lanjut dia, para petani mengirim lagi mete sebanyak 14.720 ton. Dan, ketiga, pada 8 Desember 2007 dikirim lagi mete sebanyak 13.962 ton. Jadi, volume hasil pertanian yang telah dikirim ke Vietnam melalui pengusaha itu sejumlah 44.763 ton mete gelondongan. *
"Kami bersyukur"
KETUA Koperasi Karya Bersama Petani Mete, Yohanes Lape Boro, kepada SPIRIT NTT menjelaskan, para petani yang mengirim mete gelondongan ke Surabaya, adalah mereka yang berdomisili di Desa Keligejo, Aimere Timur, Kelitey, Waebela dan Kelurahan Foa.
"Jadi, lima desa ini sebagai penghasil mete. Dan, biji mete itu dikirim ke Surabaya untuk selanjutnya diekspor ke Vietnam. Koperasi mete telah terbentuk sejak tahun 2003/2004 dan baru kali ini bekerja sama dengan pengusaha Surabaya mengirim mete ini. Kami juga bersyukur karena mete yang dibeli seharga Rp 7.930,00/kg," ujar Boro, yang juga Kepala Desa (Kades) Aimere Timur ini.
Dijelaskannya, dengan kerja sama tersebut harga jambu mete tidak terlalu berfluktuasi. Malah, kerja sama itu membawa dampak positif, yakni petani selalu menjual mete ke koperasi untuk selanjutnya dibawa ke Surabaya. "Yang saya lihat selama ini, ada perubahan yang luar biasa dalam harga mete di Aimere. Makanya, kami akan perluas anggota koperasi ke desa-desa lain di Kecamatan Aimere Timur," kata Yohanes. *)
Eksploitasi panas bumi Mataloko
Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
KUPANG, SPIRIT--PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengupayakan eksploitasi panas bumi di Mataloko, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, segera terealisasi akhir tahun ini.
"Kami akan berkoordinasi dengan pihak yang mengurus sumur untuk eksploitasi listrik geothermal itu untuk membenahi persoalan di lapangan. Nampaknya ada masalah pada sistem injeksi sehingga belum bisa menghasilkan uap," kata Direktur Utama PT PLN, Eddy Widiono, di Kupang, Sabtu (6/10/2007), sebelum bertolak ke Jakarta untuk mengakhiri Safari Ramadhan PT PLN di wilayah NTT.
Ia mengatakan, PLN Wilayah NTT terus mengkaji berbagai kemungkinan yang dapat menghambat proses eksploitasi panas bumi Mataloko agar pemanfaatan listrik geothermal itu dapat terlaksana paling lambat akhir tahun 2007 sesuai target Direktorat Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM).
Sesuai perencanaan awal, penyediaan pembangkit listrik tanggungjawab PLN sementara teknis pengoperasian sumur injeksi merupakan kompetensi DESDM.
Tahapan konstruksi pembangkit listrik sudah dilakukan dalam tahun anggaran 2005-2006 berupa pemasangan dua unit pembangkit berkekuatan 2,5 MW (2 x 2,5 MW). Potensi geothermal di Mataloko 100-150 Mega Watt (MW).
"Pembangkit listrik geothermal yang menjadi tanggungjawab PLN sudah tersedia dan tidak ada masalah. Kendala di lapangan berkaitan dengan pengoperasian sumur injeksi yang bukan kompetensi PLN sehingga perlu dikoordinasikan guna menuntaskan kendala tersebut," ujar Widiono.
PT PLN, tambahnya, bersedia mengupayakan tambahan dana jika dibutuhkan untuk mempercepat realisasi pemanfaatan panas bumi Mataloko itu karena pada dasarnya manajemen PLN membutuhkan listrik untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Ulumbu
Proyek pemanfaatan panas bumi di Ulumbu dilaksanakan sejak tahun 1990-an dengan dukungan dana yang bersumber dari APBN. Saat ini, sudah ada dua sumur produksi disertai satu sumur reinjeksi dengan nilai investasi sejak awal hingga tahapan produksi yang direncanakan tahun ini, diperkirakan mencapai Rp 23 miliar.
Potensi panas bumi di Mataloko merupakan satu dari 20 titik panas bumi di wilayah NTT yang sudah diekplorasi. Satu titik panas bumi lainnya yang juga sudah dieksplorasi bersamaan dengan Mataloko yakni Ulumbu di Kabupaten Manggarai.
Pengeboran panas bumi Ulumbu yang didanai Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam bentuk loan, telah menghasilkan tiga sumur produksi dan satu sumur reinjeksi dan telah diujicoba yang menghasilkan produksi listrik 5,1 MW.
Widiono mengatakan, proyek Ulumbu sebenarnya sudah dilakukan pada Agustus 1994, sebagai proyek percontohan yang dikembangkan PLN untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB) skala kecil guna melayani masyarakat terpencil di daerah pedesaan.
Namun, pada Oktober 1995, dua sumur yang berhasil dibor ditutup kembali dan baru dibenahi kembali pada tahun 2003-2004, tetapi baru satu sumur sehingga sumur yang satu lagi juga harus direhabilitasi.
Hasil uji 'long term' pada 9 September 2004 diketahui tekanan kepala sumur ialah 28 barg ketika sumur dibuka 25 persen. Sementara laju uap air (flow rate) 54,61 ton per jam atau ekuivalen dengan daya listrik sebesar lebih kurang 6 MW.
"Ulumbu memiliki potensi geothermal 100-150 MW, namun sumur produksinya masih harus direhabilitasi. Mudah-mudahan tahun 2008 dapat dieksploitasi," ujar Widiono. (antara)
Seminari Mataloko memperkokoh tradisi humaniora
Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
TANGGAL 15 September 2004, Seminari Santo Yohanes Berkhmas Todabelu di Mataloko, Ngada, genap berusia 75 tahun. Usia tiga perempat abad itu terhitung sejak sekolah diberkati pendiriannya oleh Uskup Kepulauan Sunda Kecil, Mgr Arnold Vestraelen, SVD di Todabelu (Mataloko) 1929.
Sekolah berpelindung St. Yohanes Berkhmans ini sebenarnya adalah relokasi dari tempat awalnya di Kampung Sikka (kini dalam wilayah Kabupaten Sikka, Flores). Dengan lima siswa awalnya, lembaga pendidikan khusus calon imam Katolik ini telah resmi berdiri di Sikka, 2 Februari 1926.
Untuk mempersiapkan perayaan 75 tahun itu Romo Bernadus Sebho, Pr, Rektor Seminari Todabelu saat itu, mulai dengan menghimpun alumninya. Termasuk 368 orang yang terpanggil menjadi imam, 13 di antaranya menjadi uskup.
Kelompok terakhir ini adalah Mgr. Gabriel Manek, Mgr. Paulus Sani Kleden, Mgr. Gregorius Menteiro, Mgr. Donatus Djagom, Mgr. Vitalis Djebarus, Mgr. Darius Nggawa, Mgr. Isaak Doera, dan Mgr. Antonius Pain Ratu. Lainnya adalah Mgr. Eduardus Sangsun, Mgr. Hilarius Moa Nurak, Mgr. G Khaerubim Pareira, Mgr. Michael Angkur, dan Mgr. Abdon Longinus da Cunha.
Romo Bernadus berharap agar alumni berkenan hadir pada acara HUT almamaternya ke-75 itu. Tentu juga harapan pada alumni yang kemudian sukses berkiprah di luar altar gereja, antara lain Dr. Daniel Dhakidae dan Frans Meak Parera (di Jakarta), serta Valens Goa Doy (alm).
Di Jakarta sejumlah alumni Seminari Todabelu punya kesibukan sendiri. "Alumni di Jakarta di bawah koordinasi Pak Frans Meak Parera dan Pak Daniel Dhakidae merampungkan buku khusus menangkap momentum 75 tahun Seminari St Berkhmans Todabelu," ujar Romo Bernadus Sebho, Pr.
Saat itu, Bernadus Sebho belum memperoleh gambaran jelas perihal buku yang sedang digarap di Jakarta itu. Namun, ia memastikan isi buku itu dalam bentuk bunga rampai. "Kita tunggu saja, mudah-mudahan isi buku menjadi masukan berharga untuk pengembangan Seminari Todabelu ke depan," tuturnya.
Sementara Seminari Menengah Todabelu sendiri juga dengan kesibukan serupa. Romo Johanes Songkares Pr, salah seorang pengajar sekolah calon imam itu, hingga pekan kedua Juli sedang larut dalam kesibukan merampungkan penulisan buku sejarah sekolah ini.
"Saya sangat berterima kasih atas bantuan buku yang kebetulan sangat dibutuhkan mendukung tulisan sejarah sekolah ini," ungkapnya di Mataloko.
Buku yang dimaksud adalah Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Ignas Kleden, Juni 2004). Johanes Songkares yang akrab disapa Romo Nani mengaku sangat membutuhkan buku karya doktor sosiologi dari Universitas Bielefeld (Jerman) itu. "Saya membutuhkan gambaran lebih konkret perihal kurikulum sekolah seminari yang disebut-sebut mirip gymnasium di Eropa," jelasnya.
Ignas Kleden yang kini mengajar pada program S2 dan S3 Jurusan Komunikasi FISIP UI dan program S2 Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara adalah alumni Seminari Menengah San Dominggo Hokeng di Kabupaten Flores Timur (Flotim), ujung timur Pulau Flores. Hokeng sendiri berlokasi sekitar 60 kilometer barat Larantuka, kota Kabupaten Flotim.
Buku itu antara lain melukiskan pendidikan di lingkungan seminari merupakan masa latihan dan studi yang intensif. Separuh pendidikannya berorientasi kepada gymnasium di Eropa dan separuh lainnya mengikuti ketetapan pendidikan nasional Indonesia.
Yang khusus dipelajari di seminari adalah bahasa Latin yang memakan porsi terbesar, enam kali dalam seminggu. Menyusul olahraga dan musik. Sementara bahasa Indonesia empat kali seminggu, namun pelajaran sastra tidak mendapat perhatian secukupnya.
Tentang hal yang sama, Sindhunata (Humanisme dan Kebebasan Pers, 2001) menggambarkan melalui kurikulum yang mirip gymnasium, murid-murid diajak masuk ke dalam alam pikiran klasik. Lalu mendalami sastra klasik entah Latin, Yunani, Caesar, Cicero, Horatius atau Ovidius. Mengutip secara acak, katanya, pengalaman dan pendidikan yang kental dengan tradisi humaniora seperti itu selanjutnya melahirkan pandangan yang humanis.
Tercakup di dalamnya adalah pencerdasan dan pencerahan akal budi, pergulatan suara hati, peradaban dan pembangunan kebudayaan.
***
MATALOKO, termasuk Seminari Todabelu, letaknya sekitar 19 kilometer timur Bajawa, Kota Kabupaten Ngada di Flores. Kawasan ini dikenal berhawa sejuk. Keseharian kawasannya tidak jarang berselimut kabut. Maklum saja karena letaknya di daerah ketinggian- sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Kondisi itu secara tidak langsung mengharuskan penduduknya selalu berselimut tebal ditambah penutup kepala ala ninja yang lazim disebut "topi dingin" oleh masyarakat setempat. Topi ala ninja itu antara lain selalu dikenakan di kepala Romo Nani.
Ketika dikunjungi, kompleks sekolah riuh terutama melalui salah satu gerbang masuk di sebelah timurnya. Suasana itu bersumber dari kesibukan para siswa yang baru kembali ke sekolah setelah sekitar dua minggu liburan.
Para siswa tidak langsung masuk asrama yang juga dalam kompleks. Mereka harus menyelesaikan berbagai kewajiban seperti biaya asrama, uang sekolah dan lainnya melalui petugas khusus yang telah menunggu. Selanjutnya dengan kupon yang diperoleh, baru diperbolehkan masuk asrama. "Kompleks sekolah terasa sangat sepi selama siswa liburan," kata Romo Alex Dae, guru Bahasa Indonesia Seminari Todabelu.
Seperti sekolah sejenisnya di Flores: Seminari Kisol (Manggarai) atau Seminari Hokeng di Flotim, siswa Seminari Todabelu tidak hanya dari Kabupaten Ngada. Mereka berasal dari seluruh pelosok NTT, bahkan dari Pulau Jawa, Irian Jaya, dan daerah lainnya. "Kalau suasana dan kompleksnya mendukung seperti ini, pantas saja selalu memungkinkan siswa untuk tekun belajar," kata Kepala Dinas Pendidikan Nasional Timika (Irian Jaya), Aloyisius You, spontan ketika mengantar putranya masuk Seminari Todabelu.
Kompleks Seminari Todabelu didukung lahan seluas kurang lebih 70 hektar. Di antaranya 10 hektar khusus untuk persekolahan lengkap dengan berbagai fasilitas pendukungnya dari sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) hingga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Sementara 60 hektar lainnya adalah lahan yang disediakan untuk perkebunan ditanami berbagai jenis buahan, jagung, kopi, cengkih, vanili, dan berbagai jenis tanaman lainnya. "Hasil dari lahan kebun ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah," tambah Romo Nani.
Sebenarnya kurikulum pendidikan di Seminari Todabelu tidak jauh beda dengan kurikulum yang diterapkan di Seminari Menengah "Pius 12" Kisol (Manggarai), Seminari San Dominggo Hokeng (Flotim) atau sekolah khusus sejenis lainnya. (kcm)
Warga Ria swadaya bangun polindes
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
RIUNG BARAT, SPIRIT-- Poliklinik Desa (Polindes) di Desa Persiapan Ria I, Kecamatan Riung Barat hingga saat ini belum ada tenaga medis untuk untuk melayani pasien. Sementara masyarakat secara swadaya telah membangun polindes sejak beberapa waktu lalu agar bisa melayani pasien atau masyarakat yang menderita sakit. Masyarakat setempat berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngada melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat dapat menugaskan tenaga kesehatan untuk melayani masyarakat di polindes itu. Heribertus Degor, tokoh masyarakat Desa Persiapan Ria 1, menyampaikan masalah itu kepada Bupati Ngada, Drs. Piet Nuwa Wea, saat berkunjung ke Riung Barat, beberapa waktu lalu. Degor mengatakan, masyarakat pada tahun 2006 lalu secara swadaya dan bantuan dana program pengembangan kecamatan (PPK) mengerjakan polindes dan berdiri megah di perkampungan itu. Namun, hingga kini belum ada tenaga medis yang melayani di polindes tersebut. Senada dengan Degor, Hendrikus Mada, tokoh Maronggela, mengharapkan perhatian pemerintah agar Polindes Ria 1 pada tahun 2007 ini bisa ditempatkan tenaga kesehatan. Dengan demikian masyarakat bisa terlayani kesehatannya bila sakit. Bupati Ngada, Drs. Piet Nuwa Wea, menjawab permintaan warga menegaskan, pihaknya akan menindaklanjuti keluhan masalah kesehatan dengan menempatkan tenaga medis di Desa Persiapan Ria I. Bupati Nuwa Wea pun memerintahkan Plt Kadis Kesehatan Ngada, Ny. Hildegardis Bhoko, SKM, agar memperhatikan keluhan masyarakat ini.
Pantauan SPIRIT NTT di Ria I, telah berdiri megah Polindes Ria 1 di tengah perkampungan atau berada di samping Kantor Desa Persiapan Ria 1 dan Kantor BPD, serta Kapela Jesus,Yosef dan Maria. *
DPRD Ngada bahas lima ranperda
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
BAJAWA, SPIRIT-- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Ngada, Selasa (25/9/2007) lalu, menggelar sidang perubahan anggaran dan membahas lima rancangan peraturan daerah (ranperda).
Sidang Dewan yang dihadiri Wakil Bupati (Wabup) Ngada, Niko Dopo, ST, itu dibuka Ketua DPRD Ngada, Thomas Dola Radho. Dalam sambutannya, Dola Radho mengatakan, dalam rapat perubahan anggaran ini pihaknya membahas lima rancangan peraturan daerah (Ranperda) yang diajukan eksekutif dari Bagian Pemdes. Lima ranperda itu mengenai pemerintahan desa, peningkatan desa persiapan ke desa definitif dan ranperda tentang pedesaan.
Sementara dalam pengantar nota keuangan bupati menyebutkan alokasi APBD Ngada tahun 2007 untuk membiayai sembilan program pembangunan dan lima prioritas pembangunan daerah tahun 2007 perlu ada pergeseran prioritas pembangunan daerah. Menyikapi itu, pemerintah membutuhkan dana untuk melaksanakan semua kebutuhan masyarakat.
Hadir Kapolres Ngada, AKBP Sugeng Kurniaji, Ketua PN Bajawa, Martinus Bala, S.H, Dandim 1625 Ngada, Letkol CZI Suparjo, Sekda Ngada, Drs. Simon David Bolla, pimpinan SKPD lingkup Setda Ngada. *
LIMA RANPERDA YANG DIBAHAS
* Pedoman pembentukan dan tata kerja pemerintahan desa.
* Pedoman pembentukan dan mekanisme penyusunan perdes
* Pembentukan, penghapusan dan penggabungan desa.
* Pembentukan, penghapusan, penggabungan kelurahan dan perubahan status desa menjadi kelurahan
* Peningkatan status Desa Persiapan Lengkosambi Timur, Lengkosambi Barat (Kecamatan Riung), Borani, Langa Gedha, Naruwolo I, Naruwolo II (Kecamatan Bajawa), Nabelena (Bajawa Utara) dan Ria I (Kecamatan Riung Barat) menjadi desa definitif.
35 Lulusan Politani diwisuda
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT, 8-15 Oktober 2007
BOAWAE, SPIRIT--Ketua Yayasan Santania, Joseph Willem Lea Wea, minta lulusan Politani Boawae agar menjadi penyuluh pertanian yang baik setelah berada di masyarakat, termasuk saat bekerja di instansi pemerintahan dan swasta.
"Tunjukkan kemampuan Anda dan prestasi yang dimiliki kepada masyarakat agar dapat bekerja secara profesional dan bersaing di dunia usaha. Anda harus mempersiapkan diri menghadapi persaingan pada era sekarang ini," kata Joseph dalam acara wisuda Politani St. Wilhelmus, Boawae di Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Rabu (3/10/2007).
Hadir antara lain Penjabat Bupati Nagekeo, Drs. Elias Djo, Ketua DPRD Ngada, Thomas Dola Radho, Sekab Nagekeo, Elpin Parera, anggota DPRD Ngada dan Nagekeo, Camat Boawae, Drs. Imanuel Ndun serta undangan.
Ketua Seksi Publikasi dan Dokumentasi Wisuda Politani Boawae, Yosef Arifin, S.Pt, di sela-sela acara wisuda, menjelaskan 35 wisudawan/ti berasal dari empat program studi, yakni Program Studi (Prodi) Peternakan 21orang, Prodi Manajemen Pertanian Lahan Kering (MPLK) 5 orang, Prodi Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) 6 orang dan Prodi Akuntansi 3 orang.
Pada tahun 2006, kata Arifin, Politani Boawae telah mewisuda 51 sarjana muda. Total wisudawan/ti angkatan I dan II sebanyak 86 sarjana muda.
Sementara malam hari panitia menghibur masyarakat Boawae di Lapangan Pancasila Boawae menampilkan Romy Band, grup band dari Kecamatan Nangaroro.
Dia menjelaskan, dalam wisuda kali ini juga dilakukan serah terima Direktur Politani St. Wilhelmus Boawae dari Patrius Djena kepada Edelbertus Witu, S.S, yang sebelumnya menjabat Sekretaris Santania. Pelantikan dilakukan Ketua Yayasan Santania, Joseph Willem Lea Wea. Patrisius telah memegang jabatan direktur selama dua tahun dan dilanjutkan Edelbertus.
Dalam wisuda, Dosen Politani Boawae, Frederikus Lena Djago, S.E, M.M membawakan orasi ilmiah berjudul "Analisa Faktor Pengembangan Agribisnis di Nagekeo." *
Bolla resmikan delapan desa definitif
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 24-31 Desember 2007
BAJAWA, SPIRIT -- Sekretaris Kabuaten (Sekab) Ngada, Drs. Simon David Bolla mewakili Bupati Ngada, Drs. Piet Nuwa Wea, meresmikan delapan desa definitif yang ada di empat kecamatan.
Dengan peresmian ini, maka jumlah desa di Ngada menjadi 78 desa, dan 16 kelurahan. Selain peresmian desa definif, juga diresmikan empat desa persiapan di Ngada. Data yang diperoleh dari Humas Setda Ngada, Senin (17/12/2007), menyebutkan, delapan desa yang diresmikan berada di Kecamatan Riung, yakni desa yang mekar dari Desa Lengkosambi menjadi Desa Lengkosambi Barat dan Lengkosambi Timur.
Selain itu, di wilayah Kecamatan Riung Barat dimekarkan Desa Ria menjadi Desa Ria 1. Di Kecamatan Bajawa dilakukan pemekaran Desa Bomari menjadi Desa Langa Gedha dan Borani. Di Kecamatan Jerubuu, dimekarkan Desa Naruwolo menjadi Desa Naruwolo I dan Desa Naruwolo II.
Camat Bajawa, Gregorius Goty, yang ditemui usai acara peresmian, Senin (17/12/207), mengatakan, pemekaran desa di wilayahnya telah melewati tahapan dan sesuai ketentuan.
"Untuk kecamatan ini, Desa Bomari dimekarkan menjadi dua desa dan Kelurahan Faobata ingin mekar menjadi dua desa yang kini sudah menjadi desa persiapan," katanya.
Data tentang jumlah desa yang diperoleh SPIRIT NTT dari Bagian Pemdes Setda Ngada menjelaskan, desa persiapan menjadi desa defenitif ditetapkan melalui Perda Nomor 11 Tahun 2007 tanggal 27 Oktober 2007. *



Tentara dan napi bersihkan jalan utama di Bajawa
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 24-31 Desember 2007
BAJAWA, SPIRIT--Memeriahkan Hari Juang Kartika atau Hari Angkatan Darat (AD), anggota Kodim 1625 Ngada dan anggota nara pidana (Napi) membersihkan jalan utama di Kota Bajawa dan mendonorkan darahnya ke RSUD Bajawa, Senin (17/12/2007) siang. Donor darah bersama anggota polri yang berlangsung di Aula Makodim 1625 Ngada dipimpin Dandim 1625 Ngada, Letkol (Arm) I Made Sukarwa.
Disaksikan SPIRIT NTT di Aula Makodim 1625 Ngada, Senin (17/12/2007) siang, Dandim Ngada menyaksikan jalannya kegiatan donor yang dilakukan petugas dari RSUD Bajawa. Para perwira, anggota Kodim Ngada dan Polres Ngada diperiksa dan bagi yang sehat darahnya diambil petugas.
Polres Ngada mengirim 11 orang anggota ke Kodim guna mengikuti donor darah. Sedang Kodim Ngada sebanyak 10 orang yang darahnya langsung diambil. Total darah yang disumbangkan ke RSUD Bajawa, 10 kantong yakni darah O 6 kantong, darah B 2 dan darah A masing-masing 2 kantong. Jumlah itu belum termasuk dari Polres Ngada.
Dandim 1625 Ngada, Letkol (Arm) I Made Sukarwa, di sela-sela kegiatan donor darah mengatakan, pihaknya memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Kabupaten Ngada dan Nagekeo yang membutuhkan darah, jika dalam keadaan sakit. "Kita lakukan kegiatan ini dalam rangka Hari Juang Kartika, harinya angkatan darat, makanya kami menggelar donor darah," kata Sukarwa.
Bantuan darah yang diberikan anggota TNI dan Polres Ngada, kata Sukarwa, adalah sebagai bentuk kecintaan TNI dan Polri terhadap masyarakat Kabupaten Ngada dan Nagekeo, terutama bagi mereka yang membutuhkan. *
Teknologi intensifikasi padi diperkenalkan di Ngada
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 24-31 Desember 2007
BAJAWA, SPIRIT--Teknologi intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) diperkenalkan kepada para petani di Ngada oleh dua pakar pertanian di Indonesia, Prof. Dr. Ir. Tualar Simarmata, MS, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, dan Dr. Lukito, Asisten Deputi Ilmu Hayati Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) RI.
Dalam penjelasan di hadapan para petani dan pemerhati pertanian dia Aula Setda Ngada, Selasa (18/12/2007), kedua pakar ini mengatakan, IPAT-BO merupakan sistem produksi terpadu yang hemat air, bibit dan pupuk organik dengan menitikberatkan pemanfaatan kekuatan biologis pertanian. Perkenalan teknologi pertanian dalam bentuk semiloka itu, dibuka Bupati Ngada, Drs. Piet Jos Nuwa Wea diwakili Sekda Ngada, Drs. Simon David Bolla.
Seperti disaksikan SPIRIT NTT, para peserta adalah para petani, camat di Ngada, pimpinan SKPD di Ngada, pemerhati masalah pertanian dan semua pihak yang peduli terhadap masalah pertanian. Mereka antusias mendengar penjelasan soal pemanfaatan teknologi pertanian yang selama ini belum pernah diperkenalkan pihak lain.
Dalam laporan panitia penyelenggara disebutkan, produksi padi di Ngada berkisar 4-5 ton/ha. Padalah peluang peningkatan sampai 8 ton/ha sehingga masih memungkinkan untuk diterapkan IPAT-BO.
Pemerintah berupaya melakukan terobosan-terobosan dengan penerapan teknologi yang tepat guna membangun kemandirian dan ketahanan pangan. Salah satu upaya, yakni melakukan penerapan teknologi IPAT-BO hasil kajian Prof. Simarmata guru besar di Unpad Bandung yang didukung oleh Menristek RI dan PT Satu Mitra Sejati (SMS) Jakarta.
Kehadiran pakar pertanian di Ngada ini berawal dari kunjungan Bupati Ngada yang melihat lokasi kaji terap teknologi IPAT-BO di Sumedang, Jawa Barat, pada tanggal 13 April 2007, diikuti dengan kunjungan Kadis Pertanian Tanaman Pangan Ngada, Camat Bajawa Utara dan Camat Mauponggo.
Semiloka itu memperkenalkan penerapan teknologi IPAT-BO pada petani di Ngada dan mempercepat alih teknologi guna peningkatan produksi padi. Selain itu, menjalin kerja sama Pemkab Ngada, Unpad Bandung, Menristek dan PT SMS Jakarta.
Bupati Ngada dalam sambutan tertulis yang dibacakan Sekda Simon David Bolla, mengatakan, pemerintah berkeinginan meningkatkan produksi pertanian menjadi 10 sampai 15 ton/ha dengan menerapkan teknologi IPAT-BO.
Usai semiloka langsung ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemkab Ngada dengan Unpad Bandung, Menristek dan PT SMS Jakarta. PT SMS juga melakukan kerja sama dengan Kelompok Petani Maerera di Zeu, Desa Were III, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada yang sudah melakukan uji coba teknologi IPAT-BO di lahan seluas 12.6 ha. Penandatangan MoU dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh dua pakar. Usai pemaparan para pakar langsung melakukan praktek di persawahan Zeu tentang IPAT-BO.*
Warga Naru beralih jadi penambang pasir
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 24-31 Desember 2007
BAJAWA, SPIRIT--Tiga ratus delapan puluh kepala keluarga (KK) di Desa Naru, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, kekurangan lahan pertanian untuk bercocok tanam. Kekurangan lahan ini disebabkan banyak kawasan di desa itu ditetapkan sebagai kawasan cagar alam. Banyak petani di desa itu akhirnya beralih sebagai penambang pasir di Naru untuk menghidupi keluarganya.
Kepala Desa (Kades) Naru, Kornelis Yakobus Suka, melalui Kepala Seksi (Kasi) Pembangunan, Philipus Nono, kepada SPIRIT NTT di Kantor Desa Naru, di ruas Jalan Bajawa-Riung, Jumat (14/12/2007), menjelaskan, banyak petani di Naru berprofesi ganda sebagai petani dan penambang pasir.
Menurut Nono, masyarakat tidak memiliki lahan pertanian untuk berkebun karena di desa ini banyak kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan cagar alam.
Terhadap kekurangan lahan itu, pihaknya telah mendekati instansi yang mengurus kawasan cagar alam yakni Kepala Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) di Ngada agar bisa memberikan kemudahan bagi petani di Naru untuk bisa bercocok taman di daerah cagar alam.
"Pihak desa dan masyarakat pernah bertemu pihak yang mengurus kawasan cagar alam agar petani di Naru bisa bercocok tanam di sekitar lokasi cagar alam. Masyarakat yang bercocok tanam di sekitar cagar alam menjamin bahwa mereka akan menanam tanaman penahan banjir. Di lokasi cagar alam yang ada kebun masyarakat telah menanam bambu, dadar dan pohon yang bisa menahan banjir," kata Nono.
Dijelaskannya, kekurangan lahan pertanian di Desa Naru menyebabkan pula beberapa warga yang terpaksa menjadi tukang ojek dan penambang pasir.
"Semua dilakukan masyarakat guna membantu ekonomi keluarga karena ketiadaan lahan pertanian," kata Nono.
Pantauan SPIRIT NTT di Naru, kawasan cagar alam yang berada di sepanjang ruas jalan Bajawa-Riung terdapat kebun milik masyarakat. Ada tanaman jagung dan kopi milik masyarakat Naru. Desa ini dihuni 380 kepala keluarga atau 1.896 jiwa. Semua warga berprofesi sebagai petani. *
Wawomudha belum didandani guna meraup rupiah
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 3-10 Desember 2007
KELURAHAN Susu mempunyai daya tarik tersendiri. Di sana, ada panorama alam yang memesona sebagai obyek wisata, namun dibiarkan 'perawan.'
Adalah Danau Wawomudha. Keberadaannya belum dilirik
dan dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Ngada sebagai aset wisata yang berharga. Padahal, jika dikelola dengan baik, wisata alam ini sangat menggoda, bisa mendatangkan devisa bagi daerah.
Siapa yang peduli menyuarakannya? Theobaldus Keo, tokoh pemuda, warga Kelurahan Susu, kepada SPIRIT NTT di Ngoranale, Sabtu (24/11/2007), mengatakan, pemerintah setempat melalui dinas teknis perlu memperhatikan obyek wisata seperti Danau Wawomudha yang sampai sekarang masih belum "disentuh."
Keo menjelaskan, jalan masuk ke lokasi wisata ini masih berupa jalan tanah. Selain itu di lokasi wisata itu belum ada sarana prasarana pendukung layaknya sebuah tempat wisata.
"Kalau dikelola secara baik lokasi Danau Wawomudha pasti bisa menjadi lokasi wisata yang menarik wisatawan. Tapi sejauh ini belum ada perhatian serius dari pemerintah melalui dinas terkait. Saya melihat banyak kalangan dan pencinta obyek wisata alam belum mengetahui obyek wisata Danau Wawomudha ini. Kami berharap dinas teknis segera mempromosikan obyek wisata ini ke dunia luar," kata Keo, alumni Fakultas Hukum (FH) Undana-Kupang.
Keo mengatakan, banyak obyek wisata di Ngada belum dipromosikan dan belum ditata dengan baik. Padahal jika obyek-obyek wisata yang ada dikelola dengan baik, maka secara tidak langsung bisa membawa dampak bagi peningkatan ekonomi warga sekitar lokasi wisata, sekaligus menjadi pemasukan daerah.
Permasalahan yang perlu diperhatikan pemerintah, kata Keo, ruas jalan masuk ke obyek wisata serta sarana pendukung di lokasi wisata belum ada sehingga belum memiliki daya tarik. Pantauan SPIRIT NTT di Ngoranale, papan nama obyek wisata Danau Wawomudha baru dikerjakan sebagai petunjuk menuju lokasi wisata ini. Pada papan itu bertuliskan "Selamat Datang" namun sarana lainnya belum ada. *
Infokom Ngada sosialisasikan HAM
Laporan Aris Ninu, Spirit NTT 3-10 Desember 2007
BAJAWA, SPIRIT--Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) Kabupaten Ngada mensosialisasikan hak asasi manusia (HAM) dan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kantor Desa Denatana, Kecamatan Wolomeze, Jumat (23/11/2007).
Sosialisasi dilakukan karena belum banyak masyarakat mengetahui tentang haknya seperti diatur dalam undang-undang (UU), termasuk hak asasinya sebagai manusia yang melekat sejak lahir.
Camat Wolomeze, Kristian Haning, S.Sos, kepada SPIRIT NTT, Sabtu (24/11/2007), mengatakan, sosialisasi itu melibatkan 40 warga Denatana, terdiri dari kades, ketua BPD, kepala dusun, tokoh wanita, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat. Tujuan sosialisasi yakni untuk memberikan pemahaman tentang HAM dan masalah KDRT yang saat ini sedang menjadi perhatian publik.
Menurut Haning, para peserta/warga sangat antusias mengikuti kegiatan tersebut. "Saya selaku Camat Wolomeze yang membuka kegiatan tersebut dengan dua pemateri, yakni staf Infokom Ngada. Kami di kecamatan adalah perpanjangan tangan dari kabupaten sehingga wajib melaksanakan program pemerintahan dan memfasilitasi program kerja yang ada dan dilaksanakan di kecamatan," kata Haning.
Ditegaskannya, sesuai UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah tertuang juga dalam pasal 126 ayat 3 yang menegaskan tugas camat, yakni melaksanakan tugas dan fungsi mengkoordinasi upaya ketentraman dan ketertiban serta upaya pemberdayaan masyarakat.
Camat Haning berharap warga dan tokoh masyarakat yang hadir dalam kegiatan sosialisasi itu bisa memahami tentang HAM dan masalah KDRT.
Tentang masalah KDRT di wilayahnya, Camat Haning mengaku belum terlalu menonjol. Namun ia mengimbau masyarakat agar menyelesaikan persoalan dalam rumah tangga dengan musyawarah yang dilandasi semangat kasih, bukan dengan kekerasan. Sebab kekerasan dalam rumah tangga sudah diancam dengan pidana penjara.

Mencermati Perdagangan Orang di NTT

Oleh Isidorus Lilijawa
Salam. Blogspot ini merupakan wahana tukar pikiran dan brainstorming yang saya ciptakan dengan sadar dan penuh tanggung jawab. Isinya adalah berbagai tulisan saya yang pernah dimuat di berbagai media massa, juga features yang sempat nongkrong di koran-koran lokal. Mudah-mudahan saja bermanfaat.
Monday, May 12, 2008
Mencermati Perdagangan Orang di NTT

Perdagangan orang (human trafficking) bukan merupakan fenomen baru di Indonesia. Sejak zaman raja-raja perdagangan orang sudah dimulai. Pada masa itu, perempuan diperjualbelikan untuk memenuhi nafsu lelaki dan kepentingan penguasa. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kegiatan ini berkembang menjadi lebih terorganisir Hull, Sulistianingsih dan Jones, 1977).
Tidak berhenti saat itu. Masa kini perdagangan orang memperoleh bentuknya yang kian menjadi-jadi dengan berbagai modus operandi.
Perdagangan orang diartikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksanaan lainnya, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, yang dilakukan di dalam negara atau antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Indonesia merupakan daerah sumber, transit dan tujuan perdagangan orang. Menurut laporan IOM (International Organization of Migration) pada tahun 2006, 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia menjadi daerah asal korban yang tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, dan lain-lain. Setiap tahun diperkirakan 600,000 sampai 800,000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak melintasi perbatasan antar negara. Para pelaku trafficking sering menjadikan perempuan dan anak sebagai target trafficking dengan janji-janji untuk mendapatkan pekerjaan, kesempatan melanjutkan pendidikan, dikawini, dan kehidupan yang lebih baik.
Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 15 provinsi terindikasi bahwa dari waktu ke waktu perdagangan manusia memperlihatkan grafik meningkat dengan negara tujuan Malaysia, Singapura, Taiwan, negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat, negara-negara Eropa. Sementara itu tujuan trafficking adalah sebagai berikut: untuk pembantu rumah tangga di luar negeri (kebanyakan di Malaysia, juga di Singapura, Taiwan, Saudi Arabia; dan sebagainya; prostitusi di luar negeri / bekerja pada tempat-tempat hiburan; kawin dengan orang asing (terutama ke Taiwan); bekerja di bidang konstruksi, perkebunan, dan lain-lain (kebanyakan di Malaysia, Saudi Arabia, dan Jordania); pembantu rumah tangga di Indonesia; prostitusi dalam negeri; penjualan bayi; lingkaran peminta-minta yang terorganisir; perkawinan kontrak.

Dari hulu ke hilir
Untuk memahami masalah perdagangan orang di NTT, kita perlu membedahnya dari hulu ke hilir. Prof Mia Noach, Ph.D, M.Ed Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT dalam diskusi yang diselenggarakan ACILS (American Center International of Labor Solidarity) dan Biro Perempuan NTT pada tanggal 12 Maret 2008 mengatakan demikian karena NTT memiliki konteks perdagangan orang yang berbeda dari daerah lain. Untuk mengerti perdagangan orang di NTT, setiap orang mesti membedahnya secara holistik dari hulu ke hilir, bukan serpihan-serpihan kecil yang terlepas satu sama lain.
Pada hulu masalah, terdapat sejumlah faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia. Dikatakan sebagai faktor-faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia, karena faktor-faktor ini merupakan kondisi yang mendorong pelaku, keluarga, masyarakat, dan aparat pemerintah terlibat dalam proses atau cara migrasi dan kegiatan yang tergolong perdagangan manusia. Faktor-faktor itu antara lain kemiskinan yang diperburuk oleh krisis multidimensi yang masih melanda Indonesia; pertumbuhan angkatan kerja yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan kerja berimbas pada meningkatnya pengangguran; perubahan gaya hidup yang lebih mengarah kepada materialisme dan konsumtif; bias gender yang bersumber dari budaya yang memberikan penilaian yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan secara ekonomis; jaminan sosial dan perlindungan hukum yang belum memadai, termasuk penegakan hukum yang belum optimal terhadap maraknya tindak pidana yang melibatkan aparat pemerintah.
Sedangkan hilir masalah merupakan tujuan dari tindakan perdagangan manusia, sekaligus akibat yang diderita oleh korban. Dalam konteks ini, tujuan perdagangan manusia teridentifikasi sebagai berikut: pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili); buruh migran legal maupun ilegal; adopsi anak; pembantu rumah tangga; mengemis; industri pornografi dan bentuk-bentuk ekploitasi lainnya.
Dengan membedah masalah perdagangan orang dari hulu ke hilir, kita bisa melihat kontekstualisasinya di NTT. Untuk konteks NTT, yang menjadi korban utama perdagangan orang adalah perempuan dan anak. Karena itu, upaya pencegahan dan penanganan masalah trafiking di NTT adalah upaya yang langsung berhubungan dengan kepentingan para korban itu. Selain itu, konteks perdagangan orang di NTT tidak hanya terjadi dalam pola perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan dalam cakupan antar daerah dan antar negara melainkan juga antar lokal. Contoh perdagangan antar lokal adalah nasib seorang gadis asal Belu yang menjadi korban kerja paksa pada salah satu keluarga di Kampung Garam Maumere beberapa tahun lalu.
Masih berkaitan dengan perdagangan orang di NTT, perlu dipahami bahwa cakupan itu tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang dipekerjakan di luar negeri atau di luar daerah secara ilegal dan tidak memenuhi syarat tenaga kerja. Dalam wilayah NTT sendiri ada banyak contoh kasus perdagangan orang dalam bentuk eksploitasi seksual seperti PSK Jalur Hijau Kota Kupang, PSK Sesekoe di Belu, PSK jalanan di setiap ibukota kabupaten. Mereka-mereka ini adalah bagian dari perdagangan orang. Sayang bahwa oleh konsep tentang perdagangan orang yang masih rancu, mereka-mereka ini tak tercakup dalam upaya pencegahan dan penanganan para korban trafiking di NTT.
Perdagangan orang di NTT dari tahun ke tahun kian marak. Rumah Perempuan, salah satu LSM yang bekerja dengan isu perempuan dalam buku catatan pendampingan Rumah Perempuan melaporkan bahwa selama tahun 2007 ada 20 kasus perdagangan orang yang didampingi Rumah Perempuan. Semuanya terjadi pada buruh migran perempuan. Dari 20 kasus buruh migran, 2 (10%) terjadi pada buruh migran legal dan 18 (90%) terjadi pada buruh migran ilegal. Modus kasus perdagangan orang antara lain penipuan besarnya gaji yang dibayar tidak sesuai dengan perjanjian; penipuan identitas (usia); bekerja melebihi jam kerja.
Selain laporan di atas, wajah NTT acapkali ternoda oleh kasus perdagangan orang yang bahkan telah menjadi konsumsi wacana internasional. Kita tentu masuh ingat kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat, kasus terbunuhnya Tenaga Kerja Wanita asal NTT di Surabaya, kasus 327 Tenaga Kerja Wanita asal NTT berusia di bawah 18 tahun yang diperdagangkan di Papua. Selain itu, ada berbagai kasus yang menyangkut tenaga kerja asal NTT seperti yang dilansir oleh koran seperti kasus 108 anak dari Belu ditelantarkan di Jakarta oleh sebuah yayasan yang mengelola pendidikan tinggi (PK, 5/112007); seorang TKW asal NTT yang dianiaya oleh majikan yaitu Mr Chin dan Miss Ong (istrinya) (PK, 5/11/2007); 12 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang hendak berangkat ke Malaysia diamankan aparat kepolisian di Pelabuhan Tenau Kupang (31/11/2007). Mereka adalah calon TKI asal Rote dan Belu yang rencananya diberangkatkan ke Surabaya dengan kapal Tatamailau. Mereka yang direkrut ini dijanjikan untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming gaji sebesar 2 juta rupiah/orang. Namun sebelumnya para calon TKI harus menyerahkan uang sebesar 1 juta rupiah.
Data pada Dinas Nakertrans Provinsi NTT menunjukkan bahwa pada tahun 2005 ada 977 TKI bermasalah yang dipulangkan terdiri dari 704 laki-laki dan 273 perempuan; tahun 2006 tidak ada TKI namun ada 127 kasus pemulangan, 115 kasus melarikan diri, dan 7 kasus meninggal dunia. Bahkan dari bincang-bincang saya dengan Kasubdin PPTK Dinas Nakertrans Provinsi NTT, Abraham Jumina diketahui bahwa angkatan tenaga kerja NTT yang ke luar negeri akan terus meningkat hingga 10.000 orang untuk tahun 2008. Ini merupakan akumulasi TKI NTT yang legal maupun ilegal. Besarnya angka di atas ditunjang juga oleh praktik-praktik manipulasi identitas yang banyak dilakukan terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, kelurahan dan kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subyeknya.
Kasus-kasus sebagaimana disebutkan di atas semakin meningkat dari waktu ke waktu sementara upaya pencegahan tidak memperlihatkan hasil yang maksimal karena lemahnya koordinasi, pengawasan dan pembinaan. Di samping itu, para korban tindak pidana perdagangan orang tidak ditangani secara baik. Yang terjadi sekarang adalah bagaimana para korban itu dipulangkan kembali kepada keluarganya tanpa sentuhan rehabilitasi terhadap kondisi kesehatan dan masalah sosial yang dialaminya. Sementara itu, sanksi terhadap para pelaku perdagangan manusia kurang tegas. Di sisi lain, kita belum miliki perangkat aturan yang bisa menjawab berbagai permasalahan yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi Nusa Tenggara Timur.
Kita orang NTT tidak harus puas dan berhenti sampai pada titik provinsi yang dikenal dengan industri TKI. Ini seharusnya bukan menjadi kebanggaan kita. Malah mesti dilihat sebagai katastrofa kemanusiaan yang mengerikan. Industri tenaga kerja kita kerap bermasalah dan memakan korban manusia-manusia yang lemah, rentan kekerasan seperti anak dan perempuan. Sudah saatnya kita memiliki manajemen tenaga kerja yang baik. Bukan sekadar terkejut setelah ada persoalan di negeri orang, lantas saling mencari kambing hitam. Tugas pemerintah dan masyarakat bukan hanya mengupayakan tindakan kuratif setelah ada persoalan tenaga kerja tetapi bagaimana memberantas persoalan ini sejak dari hulu.
Kita tentu sangat berharap agar di NTT segera lahir Perda perdagangan orang dan Keputusan Gubernur atas peraturan daerah itu. Ini adalah landasan hukum yang penting untuk mencegah dan menangani kasus perdagangan orang di NTT. Bukan terutama secara politis, tetapi juga secara praksis di lapangan. Dan lebih dalam dari itu, karakteristik masalah perdagangan orang di NTT dari hulu ke hilir, kiranya tercakup dalam peraturan daerah yang sedang didamba masyarakat saat ini. Membedah perdagangan orang adalah upaya menguliti persoalan yang ada dengan harapan ada tindakan preventif dan kuratif yang dilakukan pemerintah dan masyarakat agar tidak jatuh terus-menerus korban perdagangan orang di NTT khususnya kaum perempuan dan anak.
Isidorus Lilijawa, Koordinator ACILS-LPA NTT untuk Traffiking. Tamatan STFK Ledalero.

Buang Pemimpin Yang Telah Gagal

Presiden Bukan “ Superbodi”
Cermin Kegagalan Sang Pemimpin Kabinet Indonesia Bersatu
Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu 2004 silam sebagai presiden, bagi sebagian rakyat yang awam dengan intrik politik memberi harapan akan perubahan, dan tentunya perubahan dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Tetapi bagi sebagian kalangan yang mahfum dalam dunia politik tentunya tak lagi heran akan apa yang sekarang terjadi. Ekonomi rakyat semakin terpuruk, kesenjangan si kaya dan si miskin semakin lebar. Kita diajarkan menjadi serigala bagi sesama anak bangsa dengan segala praktek korupsi yang tersirat dilegalkan dalam birokrasi pemerintah dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Sang presiden dalam kampanye pemilu lalu menjanjikan perubahan dan bukan pembaharuan.
Lagi-lagi rakyat dijadikan tumbal dan kelinci percobaan demi pencitraan sang pemimpin. Sungguh ironis bangsa sebesar ini tak mampu lagi menemukan mutiara. Seolah tak ada lagi asa untuk menghamparkan segala cita rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin membangun negeri ini jika dana pembangunan dikorupsi oleh mereka yang dipercaya untuk melaksanakannya?? Kekhawatiran ini tidaklah berlebihan. Ahli hukum dan politik Susan Rose – Arckerman menempatkan kepentingan pribadi, termasuk kepentingan dalam kemakmuran keluarga, sebagai motivator sentral dan universal bagi kehidupan manusia sehingga tak heran korupsi menjadi endemi(corruption & Government,2000).
Bertemunya kepentingan pribadi dan daya tarik kekayaan mengakibatkan manusia bisa menjadi beringas (Antonius Steven Un,2007). Filsuf Italia Nicolo Machiavelli (1469-1527) menyatakan “manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya”. Hal inilah yang patut diwaspadai oleh publik sebab mentalitas yang demikian bobrok telah merasuk pada lingkaran kekuasaan.
Secara umum, negeri ini mengakomodasi praktek demokrasi. Namun banyak pengamat politik melihat itu sebagai suatu yang semu Meskipun komposisi pemerintah mencerminkan keberagaman masyarakat, itu tidak lebih melestarikan kekuasaan yang korup. Karena mereka – mereka yang masuk dalam kekuasaan karena dukungan para koruptor. Sehingga banyak kepentingan rakyat dipinggirkan dan dipasung. Lantas Pada gilirannya, akan luntur kepercayaan publik yang terdiri 3 kelompok. Pertama , publik tanah air tidak percaya pada institusi pemerintah dan hal ini berarti Penguasa telah gagal menjalankan roda pemerintahan termasuk melaksanakan pembangunan. Kedua, publik internasional dan lembaga donor tak lagi percaya kepada pemerintah. Hal ini berbahaya mengingat kita berada di ring of fire , potensi dan bencana politik amat besar. Ketiga, investor baik lokal maupun asing yang sudah sejak lama meresahkan korupsi birokrasi akan bertambah resah dengan suburnya korupsi di pemerintahan.
Menjelang bergantian tahun banyak masyarakat berharap mendapat kehidupan yang lebih baik. Tapi justru sebaliknya pengurangan jatah bagi BBM yang berSubsidi dijadikan algojo untuk membunuh rakyat. Alasan pengkonversian Minyak tanah dengan gas, Bensin Oktan 88 dikurangi stoknya untuk diganti Oktan 90, semua ini adalah akal licik dan pembodohan publik. Dan serba tidak masuk akal. Rakyat sengaja dimiskinkan agar mereka bisa tampil bak pahlawan menjelang pemilu 2009. Namun harus kita sadari kesabaran rakyat ada batasnya dan kita telah mengakui reformasi telah gagal. Bahkan tidak mustahil sebagian orang berharap adanya revolusi untuk menata kembali bangsa ini yang semakin rapuh. Kita membutuhkan oase politik dan kita menantikan suatu jawaban yang jujur dari sang pemimpin. Kenapa semua ini terjadi !, kita masih ingat ketika SBY naik ke pentas kekuasaan tertinggi lantas disambut berbagai bencana yang maha hebat. Ketika itu cibiran dari seorang paranormal terkemuka mengatakan “ Bahwa Tuhan Tidak Berkenan “ dan hal itu mungkin benar adanya.
Keniscayaan untuk mendapatkan pemimpin yang adiluhur bisa saja luntur, seandainya kita bersama-sama untuk komit mencari pemimpin alternatif yang mampu mengubah system, dan lagi bukan yang bermental opportunis. Kita semua sudah muak dengan kemiskinan materi dan rohani. Untuk itu marilah kita bangkit merapatkan barisan untuk mengatasi bersama segala permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dari kita sendiri. Yakni berani memilih pemimpin yang jujur dan berani. Dan jangan memilih kembali pemimpin yang telah gagal.
Aufklarung

NTT Menatap Peradabannya

NTT: People Poor, Poor People
Rabu, 16 April 08 - by : Armijn Woda Kolo
Sungguh terhenyuh, malu, kecewa, marah namun sekaligus optimis ketika salah satu TV nasional menampilkan profil NTT selama hampir sepekan dalam program siarannya. TV tersebut mengupas secara tuntas dan lugas persoalan kemiskinan masyarakat dengan parameter indeks pembangunan manusia, kesehatan dan sanitasi lingkungan, pendapatan per kapita, dll. Timbul pertanyaan: Apa dan Mengapa masyarakat NTT begitu dominan dan identik dengan kemiskinan?
Pertanyaan yang membutuhkan analisis komprehensif untuk menemukan akar persoalan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur.Alam dan segala fenomenanya dijadikan biangkerok penyebab kemiskinan di NTT. Sungguh, menyalahkan alam merupakan dosa yang tak terampunkan, yang berarti menyalahkan penciptaNya. Jepang memiliki topografi dan iklim yang kurang mendukung ditambah fenomena alam yang seringkali merugikan namun masyarakat Jepang tidak pernah menyalahkan alam, tapi sebaliknya berusaha dengan daya dan upaya maksimal untuk menaklukan dan menggunakan semua potensi alam yang dimilikinya. Biangkerok lainnya adalah SDM masyarakatnya dan kultur (adat istiadat) yang tidak sejalan/sinkron dengan program pembangunan. SDM yang selalu disalahkan adalah Sumber Daya Manusia masyarakatnya bukan SDM semua komponen manusia NTT mulai dari masyarakat, gereja sebagai agen pencerahan dan pemerintah daerah sebagai fasilitator sekaligus pelayan pembangunan. Semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa arah dan pola. Masyarakat selalu dijadikan obyek penderita yang kerap disalahkan atas semua bentuk kemiskinan dan kebodohan yang menimpa dirinya. Sementara itu gereja hanya menempatkan dirinya selaku “agen pemesan moral/moral messenger” dan di pihak lain pemerintah daerah asyik dengan kehidupan pribadinya karena merasa diri sebagai pihak yang beruntung memiliki pekerjaan pegawai negeri sipil. Mentalitas pemerintah daerah NTT selaku pelayanan public sungguh memprihatinkan, dimulai dari pegawai rendahan sampai gubernur menempatkan diri sebagai la grande societies di tengah masyarakat marginal NTT. Sungguh mental primitive dari warisan feodalisme, karena tidak mau melayani hanya ingin dilayani. Sebuah situasi yang sangat ironis apabila kita menyoal akar kemiskinan NTT terletak pada masyarakatnya sementara di pihak lain NTT pernah disoroti sebagai propinsi urutan ke-enam paling korup di Indonesia. Membahas persoalan kemiskinan NTT harus dilakukan secara komprehensif dengan menelaah sejarah, potensi SDA, kondisi geografis - topografis dan demografis, kebijakan pembangunan baik nasional maupun daerah, serta komitmen bersama semua elemen untuk mengangkat masyarakat NTT dari kubangan kemiskinan.
Dari segi sejarah, terbentuknya NTT merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda dimana Kupang pernah dijadikan sebagai pusat pemerintahan Residentie Timor yang membawahi beberapa afdeling pada masa itu. Masa sebelum masuknya penjajahan (Portugis, Belanda) kondisi masyarakat NTT pada saat itu masih sangat primitive dengan pola hidup bercocok tanam secara nomaden dan akses dengan dunia luar sangat terbatas; mungkin hanya beberapa wilayah seperti Solor, Kupang, Ende, Manggarai yang berada diwilayah pesisir memiliki akses hubungan perdagangan dengan daerah/kerajaan luar baik dari jawa, china, arab, india, makasar maupun Bima. Dalam kurun waktu 350 tahun pendudukan Belanda di Indonesia, NTT tidak masuk dalam hitungan wilayah yang dianggap memiliki potensi untuk digarap hasil alamnya. Ekspedisi VOC ke NTT khususnya Flores dari tahun 1819 s.d 1825 berasumsi bahwa NTT tidak memiliki potensi alam memadai baik dari segi pertanian, perkebunan, maupun pertambangan. Hal tersebut mengurung niat pemerintahan kolonial Belanda untuk berinventasi di wilayah NTT dalam hal penyediaan infrastruktur dan pengembangan SDM. Pemerintah Belanda hanya menempatkan para misionaris yang berperan menyebarkan agama Katolik, sambil mengawasi dan menjaga eksistensi kekuasan Belanda di NTT. Sayangnya, pandangan “sebelah mata” pemerintahan kolonial Belanda terhadap wilayah ini sekonyong-konyong berlanjut sampai era kemerdekaan (pemerintahan Soekarno), era Orde Baru (pemerintahan Soeharto) sampai era reformasi saat ini. Apabila kita telaah lebih jauh dan mengkaji lebih dalam tentang sejarah perkembangan masyarakat NTT dalam 3 (tiga) masa yakni: Pra-Kolonialisme, Kolonialisme dan masa Kemerdekaan mungkin kita dapat mengetahui akar persoalan kemiskinan NTT dari perspektif kebijakan pemerintah pusat dalam melihat NTT sebagai: salah satu wilayah NKRI, bagian dari manusia dan bangsa Indonesia yang perlu diangkat harkat dan martabatnya sehingga masyarakatnya sejahtera, adil, makmur, dan merata sesuai dasar/falsafah pancasila dan amanat UUD 1945. Kemiskinan di NTT lebih disebabkan oleh kebijakan ekonomi, social dan bahkan politik yang dikembangkan untuk menanggapi serta mengontrolnya.
Nusa Tenggara Timur bukanlah wilayah tanpa potensi atau tanpa modal pembangunan dan bukan juga wilayah tandus dengan curah hujan rendah seperti yang dicitrakan? Kemanakah kayu cendana (sandalwood), stepa dan sabana yang cocok untuk peternakan, kemungkinan sumber energy alam yang belum dikaji dan digali, pertambangan, serta keindahan alam dan kekayaan nilai-nilai kultur yang ada di NTT? Bukankah alam NTT menyajikan berjuta-juta peluang kehidupan untuk mengangkat masyarakatnya dari kemiskinan dan busung lapar? Sumber alam NTT baik hayati maupun non hayati yang begitu berlimpah melebih Jepang ataupun negera-negara tandus di Timur Tengah yang hanya menggantungkan hidupnya pada minyak. Dari segi geografis, NTT bukanlah wilayah isolasi yang tidak mudah dijangkau dari pusat kebijakan Jakarta dan tidak juga jauh dari pusat demand komoditi pertanian/perkebunan seperti Surabaya. Persoalan kemiskinan sungguh tidak terletak pada tidak tersedianya sumber potensi alam tapi lebih pada tidak adanya kebijakan otoritas local dalam hal pemasaran dan pendistribusian hasil-hasil alam NTT. Elit pemerintahan dan politikus local masih silau dengan ukuran-ukuran pembangunan semu dibandingkan dengan mengembangkan kemampuan masyarakatnya berpikir kreatif dan kritis dengan basis local genius-nya.
Pada lebih dari setengah abad lalu, NTT pernah dijadikan tolak ukur kemajuan pendidikan di Indonesia. Pada masa itu banyak cendikiawan yang diproduksi dari daerah ini, yang menjadi pemikir-pemikir ulung di negeri ini. Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini? Dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004, NTT berada dalam urutan 28 dari 30 provinsi. Sungguh kemunduran yang fantastis. Mau jadi apakah generasi masa depan NTT, apabila anak-anak usia dini mengalami gizi buruk, sakit-sakitan dan tidak bisa menempuh pendidikan? Mungkinkah generasi mendatang NTT bisa berkiprah dan berkompetisi dalam skala nasional dan internasional, ataukah hanya menjadi generasi bermental “babu” yang bisa dieksport ke Negara lain seperti Malaysia dan semacamnya? Kemanakah dana yang digelontorkan setiap tahunnya ke NTT sebesar 4 – 4.5 triliun yang bisa digunakan untuk pembangunan manusia NTT?
Akar kemiskinan NTT terletak pada elemen-elemen berikut:
1. Mentalitas manusia NTT yang selalu menunggu bantuan daripada berusaha dengan mengandalkan kemampuan sendiri (cult cargo mentality) sehingga menciptakan kesadaran palsu (false consciousness) dari pihak eksternal yakni warisan misionaris dalam kurun waktu yang lama. Misionaris memberi ikan bukan pancing.
2. Mental feodalisme pelayan public di NTT, yang lebih suka dilayani daripada melayani. Menjadi pegawai negeri sipil merupakan bentuk mobilitas social demi stratifikasi social dalam masyarakat, sehingga bisa menjadi raja-raja kecil ditengah masyarakat marginal NTT yang miskin, busung lapar dan bodoh.
3. Mental sombong, arogansi dan primitive masyarakat NTT. Cenderung konsumtif dan materialis, dalam kaitan dengan strata social, pelaksanaan adat istiadat. Misalnya belis dan upacara perkawinan. Orang NTT; kalau mau kawin, mati-matian cari uang meskipun berhutang tapi untuk membiayai anak sekolah susahnya minta ampun. Mungkin bisa dikatakan : Biar miskin yang penting sombong.
4. Tidak adanya sinkronisasi dan sinergitas antara pemerintah, gereja, akademisi, NGO dan swasta dalam membangun NTT. Semuanya jalan masing-masing tanpa pola dan arah. Pemerintah daerah merasa paling kompeten, sementara gereja cukup berperan sebagai pemesan moral. Ada yang ironis di NTT, paroki-paroki seperti istana, perkebunan misi begitu modern dan produktif sementara umatnya miskin papa. Tidak ada transfer of knowledge dari pihak gereja kepad umatnya dalam hal penggunaan tehnologi dan pengetahuan akan peningkatan produktifitas pertanian/perkebunan. Disatu pihak akademisi dan universitas cukup berperan sebagai menara ilmu, LSM mengeksplotasi kemiskinan masyarakat dan swasta mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kemiskinan dan kebodohan masyarakat NTT.
5. Pemerintah Daerah tidak punya visi terarah dan skala prioritas dalam penyusunan anggaran dan prioritas pembangunan mendasar di NTT. Pokoknya asal bangun, mubasir dan tidak digunakan.
6. Tidak ada kebijakan dan implementasi serius dalam hal pemasaran dan pendistribusian komoditas pertanian dan perkebunan NTT. Semuanya diserahkan kepada tengkulak, sehingga harga komoditi pertanian dan perkebunan NTT, dikontrol penuh oleh tengkulak. Tengkulak kaya raya, uangnya diinvestasikan di propinsi lain untuk ekspansi usaha, sementara masyarakat NTT tetap miskin, busung lapar dan bodoh.
7. Kurangnya kesadaran dan pembinaan entrepreneurship (jiwa wirausaha) bagi kaum muda NTT. Bank Pembangunan Daerah NTT tidak berperan maksimal untuk menggarap hal ini.
Kemiskinan NTT jangan sekedar dieksploitasi oleh LSM dan pemerintah daerah untuk mendapatkan dana, tetapi harus dikaji secara komprehensif dan diletakan dalam konteks politik serta kebijakan pembangunan nasional yang melibatkan komitmen dan konsistensi kuat dari semua stakeholders manusia NTT dan pemerintah pusat. Eksploitasi people poor hanya menyebabkan masyarakat NTT tetap menjadi poor people, karena masyarakat merasa tidak memiliki potensi diri untuk mandiri.

Jumat, 06 Maret 2009

BIANG SEPARATIS ITU ADA DI JAKARTA

RUU Sistem Pendidikan Nasional kembali diupayakan untuk disahkan Rabu malam setelah kemarin gagal. Rancangan Sisdiknas ini dianggap bukan membangun pendidikan bermutu malah sibuk menasionalkan agama mayoritas. Daerah-daerah di mana terdapat agama maupun kepercayaan minoritas merasa dipinggirkan oleh Jakarta. Sarah Lery Mboeik dari Yayasan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat Nusa Tenggara Timur mengatakan agama bukanlah urusan negara. Putri daerah Kupang ini menyatakan Undang-Undang Sisdiknas justru menciptakan orang menjadi separatis. Maka tak heran kalau ada yang berujar: Jakartalah yang sebenarnya biang separatis.
Sarah Lery Mboeik [SLM]: Sejarah perjalanan bangsa ini kan falsafah Bhineka Tunggal Ika. Satu dalam perbedaan. Berarti kita mengakui, berbagai perbedaan yang ada di sini. Dan itu di dalam UUD kita sepakat, bahwa urusan agama itu urusan domestik bukan urusan negara. Nah kalau persoalan RUU Sisdiknas, itu dari aspek logika hukum, kemudian beberapa substansi, itu sangat tidak menghargai yang namanya satu dalam perbedaan.
Radio Nederland [RN]: Jadi anda di satu sisi sebagai anak bangsa Kupang, anak bangsa Nusa Tenggara Timur, merasa sedikitnya tersisihkan gara-gara UU ini?
SLM: Ya, saya pikir penyelenggaraan negara yang bertindak diskriminatif terhadap pelaksanaan UU Sisdiknas itu. Dan itu mestinya DPR dan pemerintah yang mustinya respons terhadap tuntutan berbagai ini, begitu. Kok soal kepercayaan, soal itu kok pakai voting. Apa unsur minoritas dalam hal itu kalau pakai voting. Yah memang tidak adil, dong.
RN: Katanya UU Sisdiknas ini akan menjamin semua agama. Anda tidak percaya itu?
SLM: Saya tidak percaya karena yang saya lihat adalah strategi politik jangka pendek, strategi 2004. Yang kedua, saya lebih sepakat dengan pernyataannya Gus Dur, ini adalah bibit-bibit ketidakpuasan orang-orang untuk menegakkan negara Islam. Saya khawatir itu yang akan terjadi. Terlalu cepat kami menyimpulkan, memang kita tidak sabar dalam berbagai proses. Tetapi berbagai pengalaman itu membuat orang merasa antipati dengan model-model penyelenggaraan negara seperti itu.
RN: Padahal kita tahu ada Bali- Hindhu, ada NTT yang mayoritasnya Katholik, ada Sulawesi Utara, Papua ....
SLM: Banyak. Ada lagi agama lokal, kepercayaan tradisional, banyak orang di sini. Jadi pemerintah tidak mau dan sama sekali tidak menjamin hak-hak rakyat etnik, minoritas, agama dan lain-lain, yang notabene selama ini merasa termarginalisasi.
RN: Nah kalau begini terus makanya wajar kalau ada suara-suara yang menyatakan, yah sudah kalau minoritas tidak diperhatikan lebih baik kita hengkang saja ....
SLM: Saya berharap itu pilihan terakhir, pisah dari NKRI. Itu bukan penyelesaian. Tetapi kalau memang mereka merasa bahwa ini menjadi persoalan bukan pada soal mayoritas, tetapi ini juga adalah soal semua orang, mari dialog. Dan itu ditunda begitu. Menurut saya ditunda dulu.
RN: Tetapi saya ingin tahu sebenarnya apa yang menjadi dasar kecemasan, keresahan rakyat NTT?
SLM: Mereka melihat ada kekhawatiran-kekhawatiran tentang yang saya bilang tadi. Kemungkinan ada muatan politis lainnya. Ada beberapa informasi, ini mungkin isu, tentang pengadaan misalnya guru-guru. Nanti akan direkrut untuk masuk ke berbagai sekolah. Pamaksaan kehendak negara untuk masuk ke dalam urusan-urusan itu. Ini adalah sebuah skenario yang dari dulu tidak pernah terjadi, dalam menegakkan negara Islam. Bisa seperti itu. Apakah ini skenarionya akan terjadi? Dan bagaimana hak kami sebagai warga negara untuk bebas menentukan kepercayaan kami masing-masing.
Sekarang begini, opini-opini yang terbentuk lagi di mana-mana. Coba anda lihat di televisi dan media Indonesia. Demo-demonya dari mana? Itu sudah kelihatan pro mana, yang kontra mana. Dan itu sebuah skenario yang sengaja terus diadu domba. Setting-setting seperti itu kan membuat, apalagi di NTT ini banyak rakyat tradisional. Tapi ini berpikir serius, ada apa ini?
RN: Jadi anda takut akhirnya ini hanya memecah belah, jadi dengan kata lain Jakarta secara langsung sebenarnya sedang berusaha mensahkan UU yang justru membuat Indonesia terpecah belah?
SLM: Ya. Saya berpikir itu hal betul, apa yang anda katakan. Dan saya berharap bahwa kalau memang di satu sisi Presiden Megawati menyatakan kemarin, jangan alasan HAM, ada tiga alasan untuk sebuah separatis. Saya takut UU ini yang menciptakan orang menjadi separatis.
Demikian Sarah Lery Mboeik dari Yayasan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat Nusa Tenggara Timur.
---------------------------------------------------------------------
Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversum http://www.ranesi.nl/ http://www.rnw.nl/

Revolusi di NTT Pernah Dimulai

Polda NTT Periksa Penggagas Negara Timor Raya
Jajaran Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) mengusut isu pembentukan Negara Timor Raya. Saat ini, Kapolda Brigjen Pol. Jacky Ully telah memerintahkan Kepala Direktorat Intelijen Polda NTT untuk memeriksa deklarator Dewan Rakyat Timor (DRT) yang dimotori sejumlah tokoh NTT. �Kami perlu mengusut masalah itu untuk menghindari upaya pembentukan negara dalam negara,� ujar Jacky kepada wartawan di Kupang, Selasa (8/1) siang.
Isu Negara Timor Raya juga disorot tajam jajaran TNI. Pejabat militer setempat menempatkan masalah itu sebagai prioritas. Data Tempo News Room, sejumlah nama terlibat sebagai deklarator DRT, yakni Ir Sarah Leri Mboik (Ketua PIAR, Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat), Pius Rangka (mantan Pemimpin Redaksi koran �Sasando Pos�), Hans Ch. Louk (Pemimpin Redaksi NTT Ekspres), Sebastian Rodriques (Dosen Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang), Jos Dasi Djawa (LSM Lap Timoris), Chris Boro Tokan (anggota DPRD NTT). �Kami siap diklarifikasi,� ujar Hans Ch.Louk. Pernyataan sama disampaikan Sarah Leri Mboik kepada wartawan. Kapolda menyatakan isu pembentukan Negara Timor Raya merupakan masalah serius. Sedini mungkin, aparat kepolisian akan menghentikan gerakan itu. �Polisi akan membawa persoalan ini sampai ke pengadilan. Para penggagas harus bertanggungjawab,� ujar Jacky. Dewan Rakyat Timor dideklarasikan di Hotel Kristal, Kupang, medio Agustus tahun lalu. Saat itu PIAR menggelar seminar Celah Timor, dengan pembicara Dr. George Aditjondro. Usai seminar, mereka mendeklarasikan DRT. Dalihnya, wadah itu untuk memperjuangkan budaya Timor yang selama ini mereka nilai tenggelam oleh dominasi budaya Jawa yang dipaksakan ke daerah-daerah. Dari gerakan-gerakan DRT itulah muncul gagasan Negara Timor Raya. Pertengahan Desember lalu, Danrem 161 Wirasakti Kupang, Kolonel Inf. Muswarno Musanip, mengingatkan para deklarator DRT untuk menghentikan kegiatan. Danrem menegaskan TNI tidak akan tinggal diam terhadap kegiatan-kegiatan yang mengarah pembentukan negara baru. �Jika ada pihak-pihak yang ingin memisahkan dari negara kesatuan Indonesia, lalat pun akan dihadapi TNI dengan meriam,�� tegas Danrem saat itu. Ide Negara Timor Raya itu disebut-sebut melibatkan elit Timor-Timur yang tak mau kembali ke kampung halaman. Pembentukan DRT merupakan ujicoba dari pemunculan isu tersebut. Argumen yang mengemuka, pembentukan DRT untuk mempersatukan rakyat Timor tercerai-berai sejak jaman penjajahan Belanda dan Portugis. Rakyat Timor sebenarnya berasal dari kerajaan Wewiku-Wehali. Timor bagian timur dikuasai Portugis dan belahan barat dikuasai Belanda. Setelah negara Indonesia berdiri, rakyat Timor tetap terpisah.
sumber: Tempo.co.id

Radio Netherland

Jika Terus Keras Kepala, Indonesia Bisa Kehilangan Dukungan Internasional
Hilversum, Jumat 04 Juli 2003 08:30 WIB
Menang opini publik dalam negeri bukan berarti mendulang emas perpolitikan luar negeri. Operasi terpadu TNI menyerbu Aceh mulai menyita keprihatinan internasional. Padahal sebelumnya Jakarta sempat berbunga-bunga karena dunia internasional menegaskan komitmennya mendukung Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI. Namun belakangan dukungan itu dinodai perilaku arogansi Jakarta sendiri yang mengacuhkan himbauan untuk memperhatikan HAM dan permintaan kembali berunding dengan GAM. Kalau begini terus bisa jadi dukungan akan menyurut. Lebih jauh laporan koresponden Jopie Lasut dari Jakarta.
Indonesia pekan ini menuai dua kecaman lagi dari dunia Internasional. Kecaman pertama datang dari Amerika Serikat yang menyesalkan vonis lima tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Banda Aceh terhadap Muhammad Nazar, Ketua Presidium Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA). Menurut penilaian Richard Boucher, juru bicara Deplu AS, vonis tersebut terlalu berlebihan untuk seseorang yang menggunakan haknya untuk beraktivitas politik secara damai.
Kecaman kedua datang dari pemerintah Jerman menyusul Inggris dan Amerika yang melarang penggunaan pesawat dan tanknya dalam operasi militer di Aceh. Kini giliran Jerman memprotes penggunaan kapal-kapal bekas -yang dulu dibeli pemerintahan Soeharto atas desakan Habibie kala masih menjadi Menristek- dari negaranya untuk mendukung operasi TNI di Aceh. Menanggapi kecaman Jerman tersebut, Rini M.S. Soewandi Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada pers mengatakan, protes ini aneh sekaligus menjengkelkan.
Kecaman demi kecaman asing yang berujung pada sanksi berupa tekanan ekonomi dan politik dalam bentuk embargo seperti yang dilakukan oleh AS misalnya, membuktikan kegagalan Indonesia dalam membangun citra sebagai negara dan bangsa. Sebuah citra negara dan bangsa yang mengaku berpijak pada nilai-nilai demokrasi, hukum dan hak-hak asasi manusia. Namun demikian, mungkinkah kecaman ini dilakukan karena pihak asing membaca kelemahan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa?
Prabowo Subianto mantan Pangkostrad dan mantan menantu Soeharto di Kalimantan Selatan dan Banjarmasin baru-baru ini mengatakan bahwa Indonesia pada zaman orde baru sempat disegani oleh negara-negara barat. Kini Indonesia dinilai lemah sehingga mudah dipermainkan. Tetapi kalangan pro demokrasi justru mengatakan, Indonesia menjadi lemah seperti sekarang ini karena ulah orde baru juga.
Soeharto selama 32 tahun berkuasa sama sekali tidak mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang tangguh yang mampu mempertahankan Indonesia sebagai negara bangsa yang kuat. Dominasi militer yang kuat kala itu juga turut memperburuk eksistensi Indonesia. Kesenjangan antara pusat dan daerah, sentralisme pemerintahan yang terpusat pada seorang Soeharto serta anti demokrasi, inilah yang merupakan bibit-bibit yang disemai oleh Soeharto kala berkuasa.
Habibie yang menerima tongkat kekuasaan dari Soeharto demi menarik dukungan kalangan Islam, membuka ruang bagi tumbuhnya orgainisasi massa Islam yang dahulu diharamkan Soeharto yang oleh Habibie diakui sebagai profesornya. Ruang tersebut direspon dengan munculnya pelbagai organisasi massa untuk berjihad dengan dukungan militer.
Kelonggaran ruang yang ada tersebut selanjutnya lebih dibuka dalam sebuah era yang dinamakan reformasi. Dalam era inilah, bibit-bibit yang disemai oleh Soeharto masuk dalam masa tuainya. Keinginan rakyat Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI semakin berani ditunjukkan dengan perlawanan bersenjata secara terbuka. Pelbagai aksi terror terjadi demikan vulgar di depan mata, pertempuran berdarah antar suku seperti yang terjadi di Kalimantan, Poso, Ambon dan konflik di Papua menjadi bukti bahwa bom waktu yang ditanam Soeharto kini telah meledak!
Terakhir Minahasa dan NTT menyatakan ingin merdeka akibat disahkan UU Sikdiknas. Sebuah UU sistem pendidikan yang kelahirannya sangat fenomenal karena dipandang sebagai sebuah usaha untuk mereduksi otoritas pendidikan dengan mencampuradukkan kepentingan lain di luar pendidikan, yakni masuknya agenda gerakan-gerakan Islam.
Menyikapi hal tersebut, Chris Siner Key Timu dari Petisi 50 mengatakan bahwa kecenderungan seperti itu terjadi karena pemerintahan orde baru yang berlangsung selama 32 tahun bertumpu pada kebijakan pembangunan yang jauh dari keadilan. Inilah yang mengancam negara dan bangsa sehingga daerah-daerah yang merasa tidak diperhatikan itu sekarang mulai mengancam. Lalu ia juga menambahkan:
Chris Siner Key Timu: Sebenarnya semuanya sama bahayanya. Ketika terjadi diskriminasi antara jawa luar jawa, itu pun berpotensi untuk membuat negara bangsa ini jadi lemah. Ketika militer itu ikut mendominasi seluruh kehidupan masyarakat, itu pun akan membuat negara dan bangsa ini jadi lemah. Karena negara bangsa itu juga mengandalkan adanya suatu masyarakat civil society yang kuat. Juga masalah yang menyangkut kehidupan ideologis dalam kaitan dengan keyakinan keagamaan. Seperti ambil contoh ya dalam proses rancangan UU Sisdiknas sampai ke DPR terjadi goncangan-goncangan yang besar. Tapi juga rakyat akan berdemonstrasi kalau terjadi ketidak adilan tentang ekonomi. Jadi sama, potensinya sama.
Demikian Chris Siner Key Timu. Karenanya, kecaman internasional perlu dihargai. Karena ia dapat menjadi cermin bijak untuk mengkoreksi kegagalan yang terjadi dalam penyelenggaraan kekuasaan dalam negara dan bangsa.

Tokoh NTT Berkomentar

Ignas Kleden:
Sparatisme Hanyalah Humor Kekuasaan
MARTABAT negeri ini sedang dipertanyakan. Berbagai persoalan: larangan terbang pesawat Indonesia ke Eropa, penganiayaan tenaga kerja wanita di luar negeri, dan ancaman disintegrasi bangsa tak bisa lagi dielakkan. Ada yang salah dalam sistem sosial dan kebudayaan kita? Mengapa kita tak bisa segera bangkit dari keterpurukan? Ignas Kleden, salah satu pemikir kebudayaan Indonesia, sedih sekali melihat kenyataan itu. Karena itu berbincang-bincang dengan media ini di Kantor Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Jalan Tirtayasa VII 1 Kebayoran, Jakarta, Jumat lalu, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi ini, memberikan beberapa saran perbaikan. Berikut petikan perbincangan itu.
Negeri ini benar-benar terpuruk. Oleh Eropa, misalnya, maskapai penerbangan kita dilarang terbang di wilayah mereka. Bukan hanya itu. Tenaga kerja Indonesia juga kerap dilecehkan di negeri orang. Menurut Anda bagaimana cara kita mengatasi persoalan ini? Apakah ada jalan kebudayaan tertentu yang harus ditempuh?
Yang Anda sebutkan adalah problem yang berasal dari tindakan yang diambil pemerintah kita saat ini. Ini tidak bisa dikatakan sebagai cerminan masyarakat pada umumnya. Tentu kita tidak menghendaki kondisi seperti ini.
Juga jika dibandingkan dengan pemerintah sebelumnya, saya bayangkan saat Bung Karno atau Pak Harto misalnya, mungkin tidak terjadi hal-hal seperti itu. Kondisi ini harus kita jadikan pelajaran berarti dan segera diperbaiki.
Mengenai apakah ada jalan kebudayaan yang bisa menjadi pencerah keterpurukan, saya katakan hal itu pasti ada. Kita toh punya potensi kebudayaan yang diakui oleh dunia internasional. Mengenai kebudayaan ini akan saya khususkan pada kesenian. Kita punya tokoh-tokoh yang mendapat tempat terhormat di dunia. Kita bukan hanya punya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, tapi juga memiliki penyair Sapardi Doko Damono, teaterwan Putu Wijaya, penyair Goenawan Mohamad, penari Sardono W Kusumo, dan Retno Maruti.
Mungkin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi kita kalah dari negara lain. Juga di bidang olahraga kita masih kurang. Jadi untuk bidang kebudayan khususnya kesenian kita punya jalan konkret untuk menaikkan martabat kita di mata dunia. Inilah yang membuktikan kita sebagai bangsa berbudaya tinggi.
Sebagai bangsa unggul, mengapa budaya positif belum juga jadi warna utama perpolitikan kita? Konflik Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti tak memiliki jalan keluar. Malah yang lebih tragis, gerakan sparatisme kian merebak.
Ini terjadi karena sumber daya manusia (SDM) di bidang politik belum dipenuhi oleh figur-figur terbaik. Rekrutmen menjadi anggota legislatif, misalnya, sampai saat ini belum melewati mekanisme yang menjamin ada quality control. Belum tampak betapa yang diletakkan pada nomor urut atas adalah yang terbaik di partai politik bersangkutan. Saat ini semua itu ditentukan oleh elite partai dan kita tidak atau belum bisa menentukan. Jadi ada pertanyan atau keraguan, apakah benar mereka yang di nomor urut atas tersebut benar-benar terjamin keunggulannya atau malah di bawah rata-rata syarat sebagai politikus yang baik.
Padahal di satu sisi DPR ini menjalankan fungsi quality control melalui mekanisme fit and proper test. Jadi anggota DPR yang mungkin tidak memenuhi harapan kita, ternyata justru ikut menentukan siapa-siapa yang duduk dalam posisi strategis di pemerintahan negeri ini. Seperti saat pemilihan Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI, Hakim Agung dan sebagainya.
Karena juga belum seperti yang kita harapkan, maka wajar kalau mereka terlalu mudah terjebak untuk kepentingan sesaat. Mengenai berbagai pernyataan bahwa gerakan sparatisme kini seakan bangkit kembali, saya kok melihatnya kita ini terlalu memberikan tanggapan yang serius sekali. Ini humor kekuasaan. Mengapa demikian? Sebab jika ingin masuk beneran, mereka akan tidak hanya bawa bendera Republik Maluku Selatan (RMS), tapi juga senjata. Saya melihat aksi itu hanya sebagai cara mereka berekspresi untuk menunjukkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.
Upaya pengibaran bendera RMS, saya kira hanya bermakna simbolik. Ya tidak sampailah mereka benar-benar menyatakan ingin merdeka. Jadi jangan sampai kita katakan insiden di Ambon itu mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu hanya sebuah peringatan kepada pemerintah pusat bahwa, "Hati-hati jika kami tidak diperhatikan, terutama kesejahteraan, soalnya RMS masih ada lho."
Begitu juga yang terkait dengan pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura. Mengenai Papua saya rasa resep yang paling mujarab bagi mereka adalah pemerintah memberikan perhatian khusus. Harus ada perhatian terhadap masaah-masalah besar yang terjadi di sana.
Misalnya masalah keterbelakangan orang Papua dibandingkan dengan pendatang dan ketertinggalan mereka dalam bidang ekonomi di tanah mereka sendiri. Nasib dan masa depan mereka kan masih gelap gulita. Bagaimana sebenarnya pembagian dari peruntungan perusahan pertambangan besar di sana bagi pembangunan masyarakat Papua, ternyata juga masih belum jelas. Pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai tekanan agar pemerintah meperhatikan mereka. Jadi resepnya adalah pemerintah memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada warga. Bukan malah memberikan tekanan dengan jalan kekerasan. Jika di sana banyak dibangun jalan, sekolah serta pelayanan kesehatan terjamin, maka segala omong kosong tuntutan merdeka akan mereda dengan sendirinya.
Saat ini suasana lebih demokratis, namun masyarakat masih dilanda keterpurukan di bidang ekonomi sehingga banyak yang berpikir lebih baik kembali ke zaman orde baru. Bagaimana pendapat Anda menanggapi hal itu?
Yang pertama, kesejahteraan rakyat memang harus diberikan oleh sistem yang demokratis. Akan tetapi, demokrasi itu punya tugas yang lebih dari sekadar menyejahtrakan rakyat secara ekonomi. Demokrasi itu memunyai tujuan agar setiap orang terjamin hak-haknya, mempunyi kedudukan yang sama di mata hukum, masyarakat terjamin mendapatkan pelayanan sesuai martabat kemanusian, dan mendapatkan pelayanan yang manusiawi dari pemerintah.
Menurut saya adalah logika yang berbahaya jika kita berpikir bahwa jika demokrasi tidak juga membawa kesejaheraan, lebih baik kembali kepada zaman orde baru yang otoriter. Karena sekali kita kembali ke pemerintahan yang otoriter demi mengejar kesejahteraan dengan cepat, maka tidak akan ada lagi kesemptan bagi kita untuk mengembalikan pemerintahan ini ke sistem yang demokratis. Kita tidak boleh tawar-menawar dan harus dikatakan kita memang perlu sistem pemerintahan yang demokrtis.
Begitu juga dengan pemikiran bahwa demokrasi baru cocok diterapkan di Indonesia setelah rakyat mencapai pendapatan 6000 dolar AS, itu adala nonsens belaka.
Menurut saya kita masih seperti ini, masih terpuruk dalam bidang ekonomi. Ya karena kita masih kurang dalam berdemokrasi. Kita lihat mengapa rakyat di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih juga dilanda kelaparan? Kalau benar-benar aspirasi mereka diperhatikan, saya yakin NTT t idak terus-menerus kelaparan. DPR kan punya tim ahli, mitrapemerintah, yaitu departemen terkait. Seharusnya mereka bisa membuat langkah untuk memecakan masalah di NTT. Tidak malah sibuk meributkan interpelasi (Hartono Harimurti-35)
Komentar dikirim oleh TONAAS BANTIK LUKAS MONGINSIDI pada tanggal Monday, October 13, 2008 10:13 PM HANYA SUKU BANGSA YANG BODOH DAN TOLOL YANG BERGABUNG DENGAN INDONESIA,=20 KAMI TIDAK PERLU OTONOMI , TIDAK PERLU PEMILU , KAMI INGIN MERDEKA...... RMS AMBON=20 OPM PAPUA MINAHASA MERDEKA NTT MERDEKA HIDUP ALLAH ISRAEL KEKAL SELAMANYA
ANJING GANTUNG AMROZY ,IMAM SAMUDRA, MUKLAS BANGSAT BUANG MAYAT NYA KASE MAKAN ANJING AJA ORANG BEGITU,

AGAMA RUSAK ,GAK BENAR, SESAT, MAKANYA NEGARA NYA RUSAK ANCUR KORUP, TERORIST, TKW.

HANYA SUKU BANGSA YANG BODOH DAN TOLOL YANG BERGABUNG DENGAN INDONESIA,
KAMI TIDAK PERLU OTONOMI , TIDAK PERLU PEMILU , KAMI INGIN MERDEKA......

RMS AMBON
OPM PAPUA
MINAHASA MERDEKA
NTT MERDEKA
HIDUP ALLAH ISRAEL KEKAL SELAMANYA

Senin, 02 Maret 2009

Kamuflase Politik

Demokrasi adalah Keadilan
Tanggal: 02 Oct 2007
Sumber: OkeZone.com

FokerLSMPapua.org, Oleh: Boni Hargens
Demokrasi Myanmar tengah terkurung dalam bunker gelap. Aung San Suu Kyi, tokoh Liga Nasional untuk Demokrasi, yang sudah lama ditahan pemerintah junta militer, mendapat dukungan luas dari para tokoh agama (biksu) dan aktivis gerakan sosial, termasuk mahasiswa.
Maka terjadilah demonstrasi besar-besaran yang hingga hari ini dihadiri rata-rata 100.000 orang. Demonstrasi ini berbasis di Yangon—dulu ibu kota Myanmar, tapi oleh junta militer yang berkuasa sejak kudeta tahun 1988, ibu kota dipindahkan ke Pyinmana pada 7 November 2005 lalu
Di negara seluas 680 km? dengan populasi 43 juta jiwa ini,bayang-bayang kekerasan fisik junta tak menyurutkan semangat para pejuang perubahan. Seorang rekan aktivis muslim asal Kamboja, Meas Sokeo, yang bermukim dekat perbatasan Thailand-Myanmar mengirim pesan elektronik.Dia mengatakan senang bisa mengirim pesan ke sahabat-sahabatnya di berbagai negara tentang apa yang tengah terjadi di seluruh negeri Myanmar, tapi dia tetap bersedih membayangkan nasib rekan aktivis di Myanmar yang tak mampu membagi duka dan kesesakan karena jaringan komunikasi yang disensor sangat ketat oleh junta. Dia lalu bersaksi, andai seluruh dunia tahu apa yang sungguh-sungguh terjadi di Myanmar belakangan, Amerika Serikat dan PBB tentu sudah menjatuhkan sanksi politik dan ekonomi yang amat memberatkan pemerintah di sana.
Tapi sayang, katanya, secuil fakta sajalah yang diketahui dunia sehingga sanksi PBB atas 15 pejabat tinggi Myanmar bukan solusi yang adekuat. Di sana, bukan perkara nasib Aung San Suu Kyi lagi yang menjadi topik gerakan, bukan pula bicara soal penegakan demokrasi, tetapi sudah merembet ke soal siapa menguasai pabrik gas dan eksplorasi tambang. Sentimen antijunta sudah meluas ditambah sentimen anti-China. Mengapa? Tambang dan sumber gas sudah dikuasai oleh pengusaha China.
Ketidakadilan ekonomi bersenyawa dengan kebangkrutan demokrasi. Itulah inti kekacauan Myanmar belakangan. Apa yang diceritakan itu hampir persis tulisan B Raman (2007) di situs http//globalnewsblog.com berjudul ”Myanmar Unrest Not Only Anti-Junta, But Also Anti-Chenese”. Katanya, protes yang bermula 19 Agustus 2007 bukan sekadar antijunta, tapi juga anti-China. Raman menyebut sejumlah alasan anti-China seperti hadirnya para ahli dan pekerja China di pusat-pusat pertambangan membatasi peluang pekerja lokal untuk mendapat bagian.
Selain itu, sejumlah perusahaan China sudah menguasai tambang dan pabrik gas di Arakan, kota provinsi makmur yang sekarang disebut Rakhine oleh Junta. Februari 2007 lalu, protes anti-China sudah tampak dari terbentuknya Paguyuban Biksu Muda (Young Monks’ Union) di Sittwe, salah satu kota di Provinsi Arakan yang menyerukan pemboikotan atas produk China karena dukungannya terhadap pemerintahan junta di Myanmar. Mereka melihat paradoks dalam sikap China yang merupakan salah satu negara pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB.Pada 19 September 2007 lalu, sekitar 3.000 biksu menggelar protes di Sittwe dan kota lain di Rakhine alias Arakan. Hari-hari setelah itu pun aksi terus berjalan.
***
Ada tiga pelajaran penting dari Myanmar untuk kita dan untuk semua negara berkembang yang demokrasinya gagal. Pertama, demokrasi adalah syarat dasar untuk menegakkan kehidupan yang adil, manusiawi, dan setara. Namun demokrasi tidak bisa dimaknai sebagai sekadar prosedur, tapi substansi yakni kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan penegakan hak asasi manusia. Tanpa nilai-nilai tersebut, demokrasi tak beda dengan junta militer atau sistem otoriter lain. Myanmar memperlihatkan wajah buruk dari sistem politik yang tak demokratis secara substansial. Kedua, di antara berbagai nilai demokrasi, salah satu yang paling mendasar adalah kebebasan. Amartya Zen (1999) terbukti benar bahwa perkembangan manusia di suatu negara diukur dari kadar kebebasannya.
Development as Freedom, judul buku Zen yang mendapat hadiah Nobel beberapa tahun lalu berarti ‘pembangunan adalah kebebasan’. Artinya, bukan angka pertumbuhan ekonomi yang didapatkan dalam rumus dan teori canggih yang menentukan bobot pembangunan dalam suatu negara, melainkan apakah setiap orang dalam negara merasakan kebebasan yang manusiawi atau tidak. Yangoon, Sittwe, dan kota-kota basis gerakan Myanmar hari ini merupakan tempat yang mencatat sejarah bahwa demokrasi adalah kebebasan. Tanpa kebebasan, manusia tak mampu memanusiakan diri dan sesamanya. Perjuangan Aung San Suu Kyi, lepas dari target politik apa pun, merupakan perjuangan kebebasan.
Lantas mengapa tak dari dulu para monks dan mahasiswa mendukung Suu Kyi? Kenapa sejak Agustus 2007 baru ada aksi massal? Kebebasan adalah kata kunci. Ketika ruang publik Myanmar tak lagi menciptakan kebebasan yang manusiawi, dalam proses sejarah, masyarakat akan dengan sendirinya melawan. Revolusi ditunda, kata Kautsky, salah satu pemikir Marxis. Kautsky bilang, tak perlulah kita merekayasa kesadaran buruh untuk melakukan revolusi melawan kapitalisme. Buruh, pada waktunya, ketika kesadarannya utuh, ketika potensinya maksimal, dan ketika penindasan atasnya tak tertahankan lagi, akan bangkit dan bergerak melawan. Kautsky tentu tak sepenuhnya benar.
Kesadaran autentik buruh dan seluruh kelas tertindas dalam sebuah negara harus selalu berkorelasi dengan rekayasa sistemik agar bisa terjadi perlawanan untuk perubahan. Di Myanmar, tanpa kesadaran autentik masyarakat dan tanpa kerja keras aktivis demokrasi, tak mungkin terjadi gerakan besar seperti sekarang ini. Di sinilah pentingnya masyarakat dan kelas intelektual berpadu, bekerja sama mendorong perubahan. Pelajaran ketiga, dalam konteks keadilan ekonomi. Negara harus menegakkan keadilan ekonomi.
Susah dibendung bahwa gerakan para biksu dan mahasiswa di Myanmar, cepat atau lambat, bakal menumbangkan kekuasaan junta. Energi gerakan itu amatlah besar karena ada satu kesadaran kolektif di kalangan demonstran yakni bahwa negara tidak adil terhadap mereka, negara membatasi hak-hak mereka sebagai warga negara untuk menikmati hidup yang normal di negerinya sendiri. Untuk Indonesia sendiri, kesadaran dan aksi serupa potensial terjadi ke depan kalau pemerintah tetap saja tidak tegas dalam menyikapi kehadiran berbagai perusahaan multinasional di berbagai tempat yang memicu konflik dengan masyarakat lokal.
PT Freeport di Timika adalah salah satu perusahaan yang selalu terlibat konflik. PT Merukh di Lembata, NTT, belakangan menjadi soal terkait rencana eksploitasi tambang di sana. Kalau negara tidak tegas, kerusuhan kerap menjadi konsekuensi logis. Di banyak kawasan penghasil emas di Afrika, negara harus sibuk mengurus konflik di pusat-pusat pertambangan antara masyarakat lokal melawan perusahaan.
***
Demokrasi adalah keadilan. Keadilan ekonomi adalah aspek paling universal yang harus dihargai oleh negara. Peperangan di dalam sebuah negara kerap terjadi karena ketidakadilan ekonomi. Mindanao National Liberation Front di Philipina terkait pula dengan konsentrasi ekonomi yang berlebihan di Manila, sementara daerah selatan agak tertinggal. Demikian pula pemberontak Pattani di Thailand bagian selatan.
Kalau disederhanakan juga, Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua Merdeka di Indonesia, tak beda dengan separatisme di negara lain. Ketidakadilan ekonomi adalah akarnya. Maka pelajaran paling penting dari Myanmar adalah negara harus memperhatikan keadilan di segala dimensi kehidupan masyarakatnya jika ingin menghindari darah dan asap. (*)

Boni Hargens
Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia
Direktur Bidang Riset Parrhesia Institute, Jakarta