Senin, 18 April 2011

Terjepit diantara Batu di Tanah Megalit (sejarah akan membebaskan-ku di Bumi Jai)

Terjepit diantara Batu di Tanah Megalit
(sejarah akan membebaskan-ku di Bumi Jai)
Karya: Mikael Risdiyanto Setyabudi

Sandal dan baju lusuh menjadi uraian bisu, bersaksi atas nama kalbu yang mewarnai butiran debu, yang berterbangan di Tanah Ngadhu….,kekagumanku pada tanah yang penuh berkat, seolah memulai pengembaraanku yang baru. Tiap titik perjalanan kucatat dalam buku kecilku bagai nas yang sudah tertulis dalam kitab suci kehidupanku. Perlahan, ku menghela nafas panjang, sesaat menghadapi rintangan yang tiada henti menerjang, menerkam bahkan hendak menghancurkan. Tersisanya sebuah puing harapan berkembang menjadi layar terkembang…..terbang diatas awan.
Menitik sudut peradaban, tertatih kuberjalan diatas perlakuan yang jauh dari rasa adil. Tuk menerima perlakuan retorik yang sering kurasakan, jauh dari rasa indah yang dibayangkan. Memang hidup adalah perjuangan yang harus tuntas dan tak sepantasnya menyerah pada satu keadaan…..dari itulah kukait setiap jalan yang kutapak menjadi sandaran untuk berpijak agar tak jatuh dan terantuk di lubang yang sama. Tak ada yang mendengar tangisku, tak ada yang mendengar jeritanku, piluku dan sedihku. Bahkan saat kusakit, seonggok sampah dituang dalam jiwaku…. !

Menerawang disudut negeri terlihat batu-batu megalit berdiri kokoh penuh ekspresi….seolah bernyanyi untuk anak negeri. Untuk menghibur kesedihan yang semakin menjadi-jadi, menemukan jati diri. Batu lambang ketegaran menghadapi hidup. Memahami konteks yang demikian tidaklah mudah. Terkendala multitafsir yang berbeda-beda dan terkadang kita membabibuta saat kita dilema. Sosok jiwa yang dibanggakanpun nyatanya memiliki sifat rapuh dan kerdil.
Meronda tuk kesekiankali akan kekejian yang telah diperbuat. Mengapa kita tak bernyali memperbaiki diri…Tanyaku dalam hati. Berbicara tentang fakta, hanya realita yang menjawabnya. Buat apa mempertahankan dusta yang tak berkesudahan, berlari dari kenyataan menggiring kita di ruang hampa dan hidup tanpa makna. Kosong adanya!, Melihat sikap hidup yang ambigu mencampakkan pada kebimbangan yang tak bermuara, bersuara jauh dari hal yang nyata. Bagai belalang yang melalang buana, meloncat tanpa arah hanya demi sedekah yang belum tentu mendapat berkah…..atau ..?????!!!
Janganlah terbiasa bersumpah atas nama setan yang hanya untuk meraih kemenangan yang sesat. Dimataku keluhuran budi nenek moyangmu harus menjadi acuan hidupmu. Batu itu berdiri penuh energi, berpuluh peluh tertumpah tuk memberi arti. Mengajar agar tak bersiasat tuk menempuh yang sesat. Karena kumpulan batu itu memberi warna hidup yang damai dan bijak. Kekagumanku tak pernah luntur, meski sering kuterjepit pada dinding hidup. Begitu banyak tangan menggandengku melepas dari himpitan batu yang hidup. Goresan yang membekas, luka yang tiada tara sakitnya. Lagi-lagi membuat kutermenung, termangu…dalam kebingungan yang membeku ! Saat ku tiba tentu tak lagi bercerita dan sejarah yang akan menjawabnya, tak perlu lagi bersiap membentengi diri. Kekalan hidup adalah milik ilahi meski semua misteri. Dalam sebuah keyakinan yang menanti, perjalanan ini takkan terhenti hingga menggapai sesuatu pasti.
Memiliki sikap sebagai ksatria adalah tuntutan masa kini, mengapa malu tuk mengakui segala kekurangan diri….dan itu adalah cemeti. Kesalahan memang menjauhkan kita dari sikap kesalehan, tapi bukan berarti semakin menjatuhkan diri dalam tungku api.? Ibu inilah anakmu, sakitku adalah pilihanku, rinduku adalah tangismu, kebangkitanku adalah dambaanmu. Jiwa ini meradang takkala ditendang. Kuyakin berbuah kemenangan hidup. Kuperlu waktu untuk melihat segalanya. Ibu, sekarang aku berada di tempat yang begitu indah meski hatiku gundah. Tak ada yang lebih pantas kuucap selain rasa syukur diringi sikap tafakur.
Teriring untaian doa sahabat yang membuatku mampu menjaga martabat, tak perlu menunggu waktu berabad-abad. Bagiku hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya. Tanpa kita mengerti, tanpa bisa menawar. Terimalah dan hadapilah dan diantara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara, aku terima ini semua melampaui batas-batas hutanmu, melampui batas-batas jurangmu. Aku cinta padamu karena aku cinta pada keberanian hidup.

Tidak ada komentar: