Jumat, 27 Maret 2009

NTT Menatap Peradabannya

NTT: People Poor, Poor People
Rabu, 16 April 08 - by : Armijn Woda Kolo
Sungguh terhenyuh, malu, kecewa, marah namun sekaligus optimis ketika salah satu TV nasional menampilkan profil NTT selama hampir sepekan dalam program siarannya. TV tersebut mengupas secara tuntas dan lugas persoalan kemiskinan masyarakat dengan parameter indeks pembangunan manusia, kesehatan dan sanitasi lingkungan, pendapatan per kapita, dll. Timbul pertanyaan: Apa dan Mengapa masyarakat NTT begitu dominan dan identik dengan kemiskinan?
Pertanyaan yang membutuhkan analisis komprehensif untuk menemukan akar persoalan kemiskinan di Nusa Tenggara Timur.Alam dan segala fenomenanya dijadikan biangkerok penyebab kemiskinan di NTT. Sungguh, menyalahkan alam merupakan dosa yang tak terampunkan, yang berarti menyalahkan penciptaNya. Jepang memiliki topografi dan iklim yang kurang mendukung ditambah fenomena alam yang seringkali merugikan namun masyarakat Jepang tidak pernah menyalahkan alam, tapi sebaliknya berusaha dengan daya dan upaya maksimal untuk menaklukan dan menggunakan semua potensi alam yang dimilikinya. Biangkerok lainnya adalah SDM masyarakatnya dan kultur (adat istiadat) yang tidak sejalan/sinkron dengan program pembangunan. SDM yang selalu disalahkan adalah Sumber Daya Manusia masyarakatnya bukan SDM semua komponen manusia NTT mulai dari masyarakat, gereja sebagai agen pencerahan dan pemerintah daerah sebagai fasilitator sekaligus pelayan pembangunan. Semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa arah dan pola. Masyarakat selalu dijadikan obyek penderita yang kerap disalahkan atas semua bentuk kemiskinan dan kebodohan yang menimpa dirinya. Sementara itu gereja hanya menempatkan dirinya selaku “agen pemesan moral/moral messenger” dan di pihak lain pemerintah daerah asyik dengan kehidupan pribadinya karena merasa diri sebagai pihak yang beruntung memiliki pekerjaan pegawai negeri sipil. Mentalitas pemerintah daerah NTT selaku pelayanan public sungguh memprihatinkan, dimulai dari pegawai rendahan sampai gubernur menempatkan diri sebagai la grande societies di tengah masyarakat marginal NTT. Sungguh mental primitive dari warisan feodalisme, karena tidak mau melayani hanya ingin dilayani. Sebuah situasi yang sangat ironis apabila kita menyoal akar kemiskinan NTT terletak pada masyarakatnya sementara di pihak lain NTT pernah disoroti sebagai propinsi urutan ke-enam paling korup di Indonesia. Membahas persoalan kemiskinan NTT harus dilakukan secara komprehensif dengan menelaah sejarah, potensi SDA, kondisi geografis - topografis dan demografis, kebijakan pembangunan baik nasional maupun daerah, serta komitmen bersama semua elemen untuk mengangkat masyarakat NTT dari kubangan kemiskinan.
Dari segi sejarah, terbentuknya NTT merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda dimana Kupang pernah dijadikan sebagai pusat pemerintahan Residentie Timor yang membawahi beberapa afdeling pada masa itu. Masa sebelum masuknya penjajahan (Portugis, Belanda) kondisi masyarakat NTT pada saat itu masih sangat primitive dengan pola hidup bercocok tanam secara nomaden dan akses dengan dunia luar sangat terbatas; mungkin hanya beberapa wilayah seperti Solor, Kupang, Ende, Manggarai yang berada diwilayah pesisir memiliki akses hubungan perdagangan dengan daerah/kerajaan luar baik dari jawa, china, arab, india, makasar maupun Bima. Dalam kurun waktu 350 tahun pendudukan Belanda di Indonesia, NTT tidak masuk dalam hitungan wilayah yang dianggap memiliki potensi untuk digarap hasil alamnya. Ekspedisi VOC ke NTT khususnya Flores dari tahun 1819 s.d 1825 berasumsi bahwa NTT tidak memiliki potensi alam memadai baik dari segi pertanian, perkebunan, maupun pertambangan. Hal tersebut mengurung niat pemerintahan kolonial Belanda untuk berinventasi di wilayah NTT dalam hal penyediaan infrastruktur dan pengembangan SDM. Pemerintah Belanda hanya menempatkan para misionaris yang berperan menyebarkan agama Katolik, sambil mengawasi dan menjaga eksistensi kekuasan Belanda di NTT. Sayangnya, pandangan “sebelah mata” pemerintahan kolonial Belanda terhadap wilayah ini sekonyong-konyong berlanjut sampai era kemerdekaan (pemerintahan Soekarno), era Orde Baru (pemerintahan Soeharto) sampai era reformasi saat ini. Apabila kita telaah lebih jauh dan mengkaji lebih dalam tentang sejarah perkembangan masyarakat NTT dalam 3 (tiga) masa yakni: Pra-Kolonialisme, Kolonialisme dan masa Kemerdekaan mungkin kita dapat mengetahui akar persoalan kemiskinan NTT dari perspektif kebijakan pemerintah pusat dalam melihat NTT sebagai: salah satu wilayah NKRI, bagian dari manusia dan bangsa Indonesia yang perlu diangkat harkat dan martabatnya sehingga masyarakatnya sejahtera, adil, makmur, dan merata sesuai dasar/falsafah pancasila dan amanat UUD 1945. Kemiskinan di NTT lebih disebabkan oleh kebijakan ekonomi, social dan bahkan politik yang dikembangkan untuk menanggapi serta mengontrolnya.
Nusa Tenggara Timur bukanlah wilayah tanpa potensi atau tanpa modal pembangunan dan bukan juga wilayah tandus dengan curah hujan rendah seperti yang dicitrakan? Kemanakah kayu cendana (sandalwood), stepa dan sabana yang cocok untuk peternakan, kemungkinan sumber energy alam yang belum dikaji dan digali, pertambangan, serta keindahan alam dan kekayaan nilai-nilai kultur yang ada di NTT? Bukankah alam NTT menyajikan berjuta-juta peluang kehidupan untuk mengangkat masyarakatnya dari kemiskinan dan busung lapar? Sumber alam NTT baik hayati maupun non hayati yang begitu berlimpah melebih Jepang ataupun negera-negara tandus di Timur Tengah yang hanya menggantungkan hidupnya pada minyak. Dari segi geografis, NTT bukanlah wilayah isolasi yang tidak mudah dijangkau dari pusat kebijakan Jakarta dan tidak juga jauh dari pusat demand komoditi pertanian/perkebunan seperti Surabaya. Persoalan kemiskinan sungguh tidak terletak pada tidak tersedianya sumber potensi alam tapi lebih pada tidak adanya kebijakan otoritas local dalam hal pemasaran dan pendistribusian hasil-hasil alam NTT. Elit pemerintahan dan politikus local masih silau dengan ukuran-ukuran pembangunan semu dibandingkan dengan mengembangkan kemampuan masyarakatnya berpikir kreatif dan kritis dengan basis local genius-nya.
Pada lebih dari setengah abad lalu, NTT pernah dijadikan tolak ukur kemajuan pendidikan di Indonesia. Pada masa itu banyak cendikiawan yang diproduksi dari daerah ini, yang menjadi pemikir-pemikir ulung di negeri ini. Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini? Dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004, NTT berada dalam urutan 28 dari 30 provinsi. Sungguh kemunduran yang fantastis. Mau jadi apakah generasi masa depan NTT, apabila anak-anak usia dini mengalami gizi buruk, sakit-sakitan dan tidak bisa menempuh pendidikan? Mungkinkah generasi mendatang NTT bisa berkiprah dan berkompetisi dalam skala nasional dan internasional, ataukah hanya menjadi generasi bermental “babu” yang bisa dieksport ke Negara lain seperti Malaysia dan semacamnya? Kemanakah dana yang digelontorkan setiap tahunnya ke NTT sebesar 4 – 4.5 triliun yang bisa digunakan untuk pembangunan manusia NTT?
Akar kemiskinan NTT terletak pada elemen-elemen berikut:
1. Mentalitas manusia NTT yang selalu menunggu bantuan daripada berusaha dengan mengandalkan kemampuan sendiri (cult cargo mentality) sehingga menciptakan kesadaran palsu (false consciousness) dari pihak eksternal yakni warisan misionaris dalam kurun waktu yang lama. Misionaris memberi ikan bukan pancing.
2. Mental feodalisme pelayan public di NTT, yang lebih suka dilayani daripada melayani. Menjadi pegawai negeri sipil merupakan bentuk mobilitas social demi stratifikasi social dalam masyarakat, sehingga bisa menjadi raja-raja kecil ditengah masyarakat marginal NTT yang miskin, busung lapar dan bodoh.
3. Mental sombong, arogansi dan primitive masyarakat NTT. Cenderung konsumtif dan materialis, dalam kaitan dengan strata social, pelaksanaan adat istiadat. Misalnya belis dan upacara perkawinan. Orang NTT; kalau mau kawin, mati-matian cari uang meskipun berhutang tapi untuk membiayai anak sekolah susahnya minta ampun. Mungkin bisa dikatakan : Biar miskin yang penting sombong.
4. Tidak adanya sinkronisasi dan sinergitas antara pemerintah, gereja, akademisi, NGO dan swasta dalam membangun NTT. Semuanya jalan masing-masing tanpa pola dan arah. Pemerintah daerah merasa paling kompeten, sementara gereja cukup berperan sebagai pemesan moral. Ada yang ironis di NTT, paroki-paroki seperti istana, perkebunan misi begitu modern dan produktif sementara umatnya miskin papa. Tidak ada transfer of knowledge dari pihak gereja kepad umatnya dalam hal penggunaan tehnologi dan pengetahuan akan peningkatan produktifitas pertanian/perkebunan. Disatu pihak akademisi dan universitas cukup berperan sebagai menara ilmu, LSM mengeksplotasi kemiskinan masyarakat dan swasta mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kemiskinan dan kebodohan masyarakat NTT.
5. Pemerintah Daerah tidak punya visi terarah dan skala prioritas dalam penyusunan anggaran dan prioritas pembangunan mendasar di NTT. Pokoknya asal bangun, mubasir dan tidak digunakan.
6. Tidak ada kebijakan dan implementasi serius dalam hal pemasaran dan pendistribusian komoditas pertanian dan perkebunan NTT. Semuanya diserahkan kepada tengkulak, sehingga harga komoditi pertanian dan perkebunan NTT, dikontrol penuh oleh tengkulak. Tengkulak kaya raya, uangnya diinvestasikan di propinsi lain untuk ekspansi usaha, sementara masyarakat NTT tetap miskin, busung lapar dan bodoh.
7. Kurangnya kesadaran dan pembinaan entrepreneurship (jiwa wirausaha) bagi kaum muda NTT. Bank Pembangunan Daerah NTT tidak berperan maksimal untuk menggarap hal ini.
Kemiskinan NTT jangan sekedar dieksploitasi oleh LSM dan pemerintah daerah untuk mendapatkan dana, tetapi harus dikaji secara komprehensif dan diletakan dalam konteks politik serta kebijakan pembangunan nasional yang melibatkan komitmen dan konsistensi kuat dari semua stakeholders manusia NTT dan pemerintah pusat. Eksploitasi people poor hanya menyebabkan masyarakat NTT tetap menjadi poor people, karena masyarakat merasa tidak memiliki potensi diri untuk mandiri.

Tidak ada komentar: