Jumat, 27 Maret 2009

Mencermati Perdagangan Orang di NTT

Oleh Isidorus Lilijawa
Salam. Blogspot ini merupakan wahana tukar pikiran dan brainstorming yang saya ciptakan dengan sadar dan penuh tanggung jawab. Isinya adalah berbagai tulisan saya yang pernah dimuat di berbagai media massa, juga features yang sempat nongkrong di koran-koran lokal. Mudah-mudahan saja bermanfaat.
Monday, May 12, 2008
Mencermati Perdagangan Orang di NTT

Perdagangan orang (human trafficking) bukan merupakan fenomen baru di Indonesia. Sejak zaman raja-raja perdagangan orang sudah dimulai. Pada masa itu, perempuan diperjualbelikan untuk memenuhi nafsu lelaki dan kepentingan penguasa. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, kegiatan ini berkembang menjadi lebih terorganisir Hull, Sulistianingsih dan Jones, 1977).
Tidak berhenti saat itu. Masa kini perdagangan orang memperoleh bentuknya yang kian menjadi-jadi dengan berbagai modus operandi.
Perdagangan orang diartikan sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, kekuatan atau bentuk-bentuk pemaksanaan lainnya, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, yang dilakukan di dalam negara atau antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Indonesia merupakan daerah sumber, transit dan tujuan perdagangan orang. Menurut laporan IOM (International Organization of Migration) pada tahun 2006, 22 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia menjadi daerah asal korban yang tidak hanya diperdagangkan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Jepang, Saudi Arabia, dan lain-lain. Setiap tahun diperkirakan 600,000 sampai 800,000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak melintasi perbatasan antar negara. Para pelaku trafficking sering menjadikan perempuan dan anak sebagai target trafficking dengan janji-janji untuk mendapatkan pekerjaan, kesempatan melanjutkan pendidikan, dikawini, dan kehidupan yang lebih baik.
Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 15 provinsi terindikasi bahwa dari waktu ke waktu perdagangan manusia memperlihatkan grafik meningkat dengan negara tujuan Malaysia, Singapura, Taiwan, negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat, negara-negara Eropa. Sementara itu tujuan trafficking adalah sebagai berikut: untuk pembantu rumah tangga di luar negeri (kebanyakan di Malaysia, juga di Singapura, Taiwan, Saudi Arabia; dan sebagainya; prostitusi di luar negeri / bekerja pada tempat-tempat hiburan; kawin dengan orang asing (terutama ke Taiwan); bekerja di bidang konstruksi, perkebunan, dan lain-lain (kebanyakan di Malaysia, Saudi Arabia, dan Jordania); pembantu rumah tangga di Indonesia; prostitusi dalam negeri; penjualan bayi; lingkaran peminta-minta yang terorganisir; perkawinan kontrak.

Dari hulu ke hilir
Untuk memahami masalah perdagangan orang di NTT, kita perlu membedahnya dari hulu ke hilir. Prof Mia Noach, Ph.D, M.Ed Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT dalam diskusi yang diselenggarakan ACILS (American Center International of Labor Solidarity) dan Biro Perempuan NTT pada tanggal 12 Maret 2008 mengatakan demikian karena NTT memiliki konteks perdagangan orang yang berbeda dari daerah lain. Untuk mengerti perdagangan orang di NTT, setiap orang mesti membedahnya secara holistik dari hulu ke hilir, bukan serpihan-serpihan kecil yang terlepas satu sama lain.
Pada hulu masalah, terdapat sejumlah faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia. Dikatakan sebagai faktor-faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia, karena faktor-faktor ini merupakan kondisi yang mendorong pelaku, keluarga, masyarakat, dan aparat pemerintah terlibat dalam proses atau cara migrasi dan kegiatan yang tergolong perdagangan manusia. Faktor-faktor itu antara lain kemiskinan yang diperburuk oleh krisis multidimensi yang masih melanda Indonesia; pertumbuhan angkatan kerja yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan kerja berimbas pada meningkatnya pengangguran; perubahan gaya hidup yang lebih mengarah kepada materialisme dan konsumtif; bias gender yang bersumber dari budaya yang memberikan penilaian yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan secara ekonomis; jaminan sosial dan perlindungan hukum yang belum memadai, termasuk penegakan hukum yang belum optimal terhadap maraknya tindak pidana yang melibatkan aparat pemerintah.
Sedangkan hilir masalah merupakan tujuan dari tindakan perdagangan manusia, sekaligus akibat yang diderita oleh korban. Dalam konteks ini, tujuan perdagangan manusia teridentifikasi sebagai berikut: pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili); buruh migran legal maupun ilegal; adopsi anak; pembantu rumah tangga; mengemis; industri pornografi dan bentuk-bentuk ekploitasi lainnya.
Dengan membedah masalah perdagangan orang dari hulu ke hilir, kita bisa melihat kontekstualisasinya di NTT. Untuk konteks NTT, yang menjadi korban utama perdagangan orang adalah perempuan dan anak. Karena itu, upaya pencegahan dan penanganan masalah trafiking di NTT adalah upaya yang langsung berhubungan dengan kepentingan para korban itu. Selain itu, konteks perdagangan orang di NTT tidak hanya terjadi dalam pola perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan dalam cakupan antar daerah dan antar negara melainkan juga antar lokal. Contoh perdagangan antar lokal adalah nasib seorang gadis asal Belu yang menjadi korban kerja paksa pada salah satu keluarga di Kampung Garam Maumere beberapa tahun lalu.
Masih berkaitan dengan perdagangan orang di NTT, perlu dipahami bahwa cakupan itu tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang dipekerjakan di luar negeri atau di luar daerah secara ilegal dan tidak memenuhi syarat tenaga kerja. Dalam wilayah NTT sendiri ada banyak contoh kasus perdagangan orang dalam bentuk eksploitasi seksual seperti PSK Jalur Hijau Kota Kupang, PSK Sesekoe di Belu, PSK jalanan di setiap ibukota kabupaten. Mereka-mereka ini adalah bagian dari perdagangan orang. Sayang bahwa oleh konsep tentang perdagangan orang yang masih rancu, mereka-mereka ini tak tercakup dalam upaya pencegahan dan penanganan para korban trafiking di NTT.
Perdagangan orang di NTT dari tahun ke tahun kian marak. Rumah Perempuan, salah satu LSM yang bekerja dengan isu perempuan dalam buku catatan pendampingan Rumah Perempuan melaporkan bahwa selama tahun 2007 ada 20 kasus perdagangan orang yang didampingi Rumah Perempuan. Semuanya terjadi pada buruh migran perempuan. Dari 20 kasus buruh migran, 2 (10%) terjadi pada buruh migran legal dan 18 (90%) terjadi pada buruh migran ilegal. Modus kasus perdagangan orang antara lain penipuan besarnya gaji yang dibayar tidak sesuai dengan perjanjian; penipuan identitas (usia); bekerja melebihi jam kerja.
Selain laporan di atas, wajah NTT acapkali ternoda oleh kasus perdagangan orang yang bahkan telah menjadi konsumsi wacana internasional. Kita tentu masuh ingat kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat, kasus terbunuhnya Tenaga Kerja Wanita asal NTT di Surabaya, kasus 327 Tenaga Kerja Wanita asal NTT berusia di bawah 18 tahun yang diperdagangkan di Papua. Selain itu, ada berbagai kasus yang menyangkut tenaga kerja asal NTT seperti yang dilansir oleh koran seperti kasus 108 anak dari Belu ditelantarkan di Jakarta oleh sebuah yayasan yang mengelola pendidikan tinggi (PK, 5/112007); seorang TKW asal NTT yang dianiaya oleh majikan yaitu Mr Chin dan Miss Ong (istrinya) (PK, 5/11/2007); 12 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal yang hendak berangkat ke Malaysia diamankan aparat kepolisian di Pelabuhan Tenau Kupang (31/11/2007). Mereka adalah calon TKI asal Rote dan Belu yang rencananya diberangkatkan ke Surabaya dengan kapal Tatamailau. Mereka yang direkrut ini dijanjikan untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming gaji sebesar 2 juta rupiah/orang. Namun sebelumnya para calon TKI harus menyerahkan uang sebesar 1 juta rupiah.
Data pada Dinas Nakertrans Provinsi NTT menunjukkan bahwa pada tahun 2005 ada 977 TKI bermasalah yang dipulangkan terdiri dari 704 laki-laki dan 273 perempuan; tahun 2006 tidak ada TKI namun ada 127 kasus pemulangan, 115 kasus melarikan diri, dan 7 kasus meninggal dunia. Bahkan dari bincang-bincang saya dengan Kasubdin PPTK Dinas Nakertrans Provinsi NTT, Abraham Jumina diketahui bahwa angkatan tenaga kerja NTT yang ke luar negeri akan terus meningkat hingga 10.000 orang untuk tahun 2008. Ini merupakan akumulasi TKI NTT yang legal maupun ilegal. Besarnya angka di atas ditunjang juga oleh praktik-praktik manipulasi identitas yang banyak dilakukan terutama untuk perdagangan orang ke luar negeri. RT/RW, kelurahan dan kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subyeknya.
Kasus-kasus sebagaimana disebutkan di atas semakin meningkat dari waktu ke waktu sementara upaya pencegahan tidak memperlihatkan hasil yang maksimal karena lemahnya koordinasi, pengawasan dan pembinaan. Di samping itu, para korban tindak pidana perdagangan orang tidak ditangani secara baik. Yang terjadi sekarang adalah bagaimana para korban itu dipulangkan kembali kepada keluarganya tanpa sentuhan rehabilitasi terhadap kondisi kesehatan dan masalah sosial yang dialaminya. Sementara itu, sanksi terhadap para pelaku perdagangan manusia kurang tegas. Di sisi lain, kita belum miliki perangkat aturan yang bisa menjawab berbagai permasalahan yang sesuai dengan karakteristik dan kondisi Nusa Tenggara Timur.
Kita orang NTT tidak harus puas dan berhenti sampai pada titik provinsi yang dikenal dengan industri TKI. Ini seharusnya bukan menjadi kebanggaan kita. Malah mesti dilihat sebagai katastrofa kemanusiaan yang mengerikan. Industri tenaga kerja kita kerap bermasalah dan memakan korban manusia-manusia yang lemah, rentan kekerasan seperti anak dan perempuan. Sudah saatnya kita memiliki manajemen tenaga kerja yang baik. Bukan sekadar terkejut setelah ada persoalan di negeri orang, lantas saling mencari kambing hitam. Tugas pemerintah dan masyarakat bukan hanya mengupayakan tindakan kuratif setelah ada persoalan tenaga kerja tetapi bagaimana memberantas persoalan ini sejak dari hulu.
Kita tentu sangat berharap agar di NTT segera lahir Perda perdagangan orang dan Keputusan Gubernur atas peraturan daerah itu. Ini adalah landasan hukum yang penting untuk mencegah dan menangani kasus perdagangan orang di NTT. Bukan terutama secara politis, tetapi juga secara praksis di lapangan. Dan lebih dalam dari itu, karakteristik masalah perdagangan orang di NTT dari hulu ke hilir, kiranya tercakup dalam peraturan daerah yang sedang didamba masyarakat saat ini. Membedah perdagangan orang adalah upaya menguliti persoalan yang ada dengan harapan ada tindakan preventif dan kuratif yang dilakukan pemerintah dan masyarakat agar tidak jatuh terus-menerus korban perdagangan orang di NTT khususnya kaum perempuan dan anak.
Isidorus Lilijawa, Koordinator ACILS-LPA NTT untuk Traffiking. Tamatan STFK Ledalero.

Tidak ada komentar: