Senin, 02 Maret 2009

Kontra Politik di Bumi Indonesia

[INDONESIA-NEWS] Separatisme 'Gertak Sambal' Kegiatan yang Berbahaya
From: indonesia-p@indopubs.com
Date: Tue Dec 19 2000 - 18:14:54 EST
X-URL: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0012/20/nasional/sepa38.htm
Separatisme "Gertak Sambal" Kegiatan yang Berbahaya
SULAWESI merdeka! Pernyataan ini masih sering muncul dalam pelbagai
kesempatan seperti aksi unjuk rasa. Bendera negara Sulawesi berwarna
hijau yang di tengahnya terdapat gambar Pulau Sulawesi berwarna putih
sesekali masih dikibarkan.
Pekik separatisme itu bergaung dengan lantang ketika BJ Habibie, putra
kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) gagal ke kursi
kepresidenan kedua kalinya. Inilah pertama kali suara separatisme
muncul kembali sejak gerakan Kahar Muzakkar berakhir tahun 1965.

Pemerintah pusat tidak begitu serius menanggapi pekik separatisme ini.
Tampaknya masih menggunakan teori lama bahwa itu hanya luapan
kekecewaan sesaat belaka seperti api yang membakar ilalang kering,
sejenak akan padam dan tinggal serpihan jelaga diterbangkan angin.

Persepsi pemerintah ini tidak sepenuhnya salah. Kalangan demonstran
yang galak meneriakkan separatisme mengakui, luapan separatisme itu
sebagai bentuk protes karena Habibie yang menjadi simbol sukses
masyarakat Sulsel dalam tampuk politik -setelah Jenderal (Purn) M
Jusuf tidak bisa menjadi Wapres atau bahkan Presiden karena Soeharto
takut popularitasnya tenggelam-telah diperlakukan tidak adil.

Di kalangan tokoh masyarakat Sulsel sendiri melihat gerakan itu hanya
separatisme "gertak sambal". Prof Dr Achmad Ali, guru besar Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, melihat itu hanya
luapan emosi sesaat dan sifatnya insidental.

Tidak ada alasan yang cukup masuk akal kalau Sulsel harus merdeka.
Dari perspektif pendanaan pemerintahan, Sulsel sangat tergantung pada
subsidi Pusat. Lihat saja tahun 1999, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Sulsel yang total Rp 890 milyar, sebanyak Rp 800 milyar
di antaranya subsidi dari Pusat. Yang bersumber dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD) hanya Rp 90 milyar. Sulsel menempati peringkat kedua
setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) dilihat dari besarnya subsidi dari
Pusat.

"Kontribusi Sulsel ke pusat juga kecil. Kita memang memiliki tambang
seperti nikel, juga industri semen, tetapi penghasilannya jauh lebih
kecil dibanding subsidi dari Pusat," kata Asisten I Pemda Sulsel Alam
Bulu.

Demikian pula saat memasuki era otonomi daerah. Sulsel yang
berpenduduk sekitar delapan juta jiwa dan memiliki kabupaten dan
kotamadya sebanyak 24, menempati peringkat sembilan besarnya Dana
Alokasi Umum (DAU) dari Pusat, setelah Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI
Jakarta, Jawa Timur, Irian Jaya, Sumatera Utara, Kalimantan Timur
(Kaltim), dan Riau. Total untuk pemda provinsi dan 24 kabupaten dan
kotamadya berjumlah Rp 2,6 trilyun. Walau sekarang beban gaji pegawai
negeri sipil menjadi beban daerah, tetapi DAU itu tetap lebih besar
dari besarnya subsidi lama.

Nasib Sulsel tidak sama dengan Riau, Kaltim, Aceh, atau Irian Jaya
(Irja). Aceh yang kaya gas alam misalnya, hanya kebagian kurang dari
satu persen hasil daerahnya yang dikeruk ke pusat yang mencapai lebih
Rp 10 trilyun per tahun. Sama dengan Riau dan Kaltim yang kaya minyak
dan gas alam, Irja yang kaya tambang dan hasil hutan tapi sebagian
besar masyarakatnya tetap berkoteka.

Demikian pula dalam percaturan politik maupun ekonomi nasional, putra
Sulsel tidak berada di posisi pinggiran. Banyak pengusaha Sulsel yang
menjadi pengusaha nasional yang sukses, seperti Jusuf Kalla, Fadel
Muhammad, Tanri Abeng, Baramuli, Ande Latief. Putra Sulsel tidak
pernah absen dari posisi menteri. Di kabinet sekarang misalnya, masih
ada Erna Witoelar dan Ryaas Rasjid.

Berbeda dengan Riau misalnya. Sejak Indonesia merdeka hanya memiliki
seorang berpangkat mayor jenderal dan letnan jenderal. Itu pun
orangnya sama, yaitu Syarwan Hamid, yang sekaligus menjadi menteri
pertama dan satu-satunya untuk putra Riau. Putra Irja seumur-umur baru
dua yang menjadi menteri, itu pun sudah pada masa pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid, yaitu Manuel Kaisiepo dan Freddy Numberi
yang menjadi menteri seumur jagung. Numberi pula satu-satunya putra
Irja yang menyandang pangkat jenderal bintang dua.

MASYARAKAT Sulsel memiliki kesan kalau pemerintah pusat menganggap
enteng ide separatisme yang mereka lontarkan itu. Hal itu bisa
ditangkap dari langkah Presiden Abdurrahman Wahid yang mengganti Jusuf
Kalla sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Jusuf Kalla
adalah salah satu simbol masyarakat Sulsel setelah Kahar Muzakkar,
Jenderal (Purn) M Jusuf dan BJ Habibie.

Ini menorehkan kekecewaan yang semakin dalam. Terlihat betapa kuatnya
ide separatisme mencuat di sela-sela aksi demo protes sebagai reaksi
atas pemecatan itu. Sejak itulah, ide separatisme menjadi semacam bola
salju yang terus menggelinding.

Menggelindingnya ide ini bersentuhan dengan kecenderungan meningkatnya
radikalisasi masyarakat dalam suasana eforia yang kebablasan. Misalnya
aksi demo memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak, September lalu.
Massa pendemo sempat memporakporandakan kantor Gubernur Sulsel.
Melakukan aksi bakar mobil.

Radikalisasi itu juga bisa dilihat dari meningkatnya aktivitas
kelompok-kelompok militer-sipil. Pergerakan kelompok ini sering kali
cenderung kepada kekerasan dan aksi sepihak. Dampaknya jelas, terjadi
bentrokan horizontal antarkelompok militer-sipil. Misalnya yang
terjadi di Bone pertengahan November antara kelompok Forum Bersama
Masyarakat Antimaksiat dengan kelompok yang diduga sindikat kejahatan.
Akibatnya dua anggota Forbes tewas.

Yang sangat berbahaya kalau militer-sipil ini sengaja direkayasa untuk
menciptakan instabilitas dan memperkuat supremasi hegemonik kekuatan
tertentu. Kelompok-kelompok ini akan dengan mudah mendapatkan pasokan
senjata dan dukungan logistik. Kalau merebak belum tentu pihak yang
merekayasa akan bisa mengendalikan.

Ada tanda-tanda masyarakat Sulsel seperti rumput kering yang mudah
terbakar. Sedikit saja ada masalah, emosi meluap-luap. Persoalan kecil
saja sudah memicu kekerasan. Pengeroyokan dan pembunuhan terhadap
tersangka pelaku kejahatan begitu sering terjadi. Misalnya yang
menimpa Daeng Lengu (21), warga Kaddoro (Gowa) yang dikeroyok hingga
nyaris tewas karena diduga mencuri kerbau. Nasib serupa dialami Alex,
warga Jl Tinumbu, Makassar. Bahkan final festival lagu daerah
se-Sulsel pun diwarnai aksi amuk massa.

Masalah konflik sosial bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan
(SARA) ada yang bersifat laten. Kerusuhan di Luwu Utara yang terjadi
Agustus lalu, sweeping kartu tanda identitas yang dilakukan mahasiswa
Makassar untuk mengidentifikasi agama seseorang merupakan indikator
betapa masih kuatnya akar konflik ini.

Menggelindingnya bola salju separatisme ini juga bersinggungan dengan
adanya proses reideologisasi di masyarakat setelah mengalami babak
sejarah the end of ideology (berakhirnya ideologi)-seperti ditulis
Daniel Bell-pada era rezim Soeharto. Pragmatisme non-ideologis
Soeharto ternyata menjadikan masyarakat lumpuh.

Sentuhan dan singgungan ini akan menjadikan ide separatisme yang
semula hanya "gertak sambal" menjadi sangat berbahaya. Terutama kalau
sampai mendapatkan ideologi perlawanan. Ini akan mengulang sejarah
gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI-TII) Kahar Muzakkar
tahun 1950-1965 yang melanda Sulsel.

Gerakan Kahar Muzakkar, demikian tulis Barbara Sillars Harvey (1989),
bermula dari adanya perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah
Pusat, tidak dihargai, nasibnya ditentukan secara tidak adil oleh
orang-orang yang kurang memahami aspirasi daerah. Karena pusat
didominasi orang Jawa, maka sentimen perasaan itu mengalami distorsi
menjadi sentimen kesukuan.

Separatisme "gertak sambal" sekarang memiliki nuansa yang agak mirip
dengan situasi sejarah gerakan Kahar Muzakkar. Berkembang anggapan
umum bahwa yang menjatuhkan Habibie itu persekongkolan orang Jawa.
Kebetulan Deklarator Ciganjur semuanya orang Jawa, yaitu Amien Rais,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Sultan Hamengku Buwono
X. Anggapan ini semakin kuat karena keterlibatan Sultan yang dipandang
lebih sebagai simbol masyarakat-kultural Jawa. Posisi politik Sultan
sebagai kader Golkar dianggap tidak seharusnya di situ.

Tentu kekecewaan itu bukan satu-satunya variabel yang melatarbelakangi
gerakan Kahar Muzakkar. Mencermati tulisan Kahar Muzakkar yang
dihimpun dalam buku Konsepsi Negara Demokrasi di Indonesia banyak hal
yang melatarbelakangi gerakan, di antaranya tidak adanya dasar negara
yang kuat, tidak adanya sistem pemerintahan yang tepat.

GERAKAN Kahar Muzakkar memiliki kekuatan dahsyat setelah mendapatkan
legitimasi ideologis Islam. Harvey menulis, penduduk Sulsel
digambarkan fanatik dalam pengabdian kepada Islam. Suatu negara Islam
adalah tujuan yang bisa diterima banyak orang. Islam adalah
identifikasi yang sudah dikenal rakyat untuk membedakan dirinya
sendiri dengan lawannya yang kafir.

Untuk itulah ketika diselenggarakan Kongres Umat Islam (KUI) Sulsel di
Makassar 19-20 Oktober yang merekomendasi agar syariat Islam
diberlakukan di Sulsel, ada yang mencurigai. Dianggap ada benang merah
dengan gerakan Kahar Muzakkar. Bahkan, merupakan kebangkitan kembali
gerakan itu. Tumbuhnya Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam
(KPPSI) sebagai kelanjutan hasil KUI dicurigai sebagai embrio kekuatan
secara fisik. "KPPSI dapat menjadi masalah politik tersendiri," kata
Adil Patu, anggota Fraksi Golkar DPRD Sulsel.

Kecurigaan itu didasarkan atas tampilnya putra Kahar Muzakkar, Abdul
Azis Kahar Muzakkar. Anak muda ini seolah merupakan jawaban atas
kerinduan masyarakat Sulsel terhadap sosok Kahar Muzakkar. Ia bisa
seperti Megawati yang menjawab kerinduan terhadap Bung Karno.
Kerinduan terhadap Kahar Muzakkar juga ditandai dengan maraknya
peredaran gambar Abdul Azis dan buku tentang dia begitu laris.

Apalagi masih berakar mitos bahwa Kahar Muzakkar tidak mati. Ia kini
tinggal di Mekkah. Sebagaimana dicatat Harvey, kuburan Kahar memang
tidak pernah diketahui. Tetapi dipastikan jenazahnya dibawa ke
Makassar dengan helikopter setelah ditembak tanggal 3 Februari 1965.

Anggota DPRD yang lain seperti Yasmin menolak keras tudingan KPPSI
sebagai bahaya politik. Bahkan Ketua DPRD Sulsel Amin Syam maupun Wali
Kota Makassar Amiruddin Maula setuju-setuju saja pemberlakuan syariat
Islam di Sulsel.

"Justru munculnya ide pemberlakuan syariat Islam itu didasarkan atas
keinginan umat Islam mencegah disintegrasi bangsa. Juga berangkat dari
keprihatinan terhadap krisis bangsa ini," kata Prof Dr Abdurahman A
Basalamah, mantan Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Hal senada disampaikan Achmad Ali yang termasuk salah satu narasumber
dalam KUI. "Tidak ada relevansinya ide pemberlakuan syariat Islam di
Sulsel dengan separatisme. Upaya pemberlakuan syariat tidak masalah
asal tetap berada di jalur aturan perundang-undangan," katanya.

Berbeda dengan Firman, seorang tokoh aktivis mahasiswa. Titik
persoalannya adalah perlakuan pemerintah pusat yang tidak adil. Kalau
ini berlangsung terus, bukan mustahil ide separatisme akan menjadi
niscaya. Bisa juga akhirnya berakumulasi dengan gerakan keagamaan.

Jaminan kalangan pejabat dan tokoh masyarakat bahwa pemberlakuan
syariat Islam di Sulsel tidak ada hubungannya dengan separatisme,
sangat melegakan. Tetapi Jakarta tidak bisa berleha-leha atau
menggunakan pandangan biarinisme terhadap isu separatisme itu.

Terbukti kebiasaan menganggap enteng - atau mungkin memang tidak
memiliki visi kenegaraan dan sense of politics - menjadikan
separatisme merebak di Irja, Aceh, Riau atau Timor Timur yang akhirnya
lepas. Semua ini harus menjadi kaca benggala para elite pimpinan
negara. (Anwar Hudijono/Reni Sri Ayu)

Tidak ada komentar: