Senin, 02 Maret 2009

Kamuflase Politik

Demokrasi adalah Keadilan
Tanggal: 02 Oct 2007
Sumber: OkeZone.com

FokerLSMPapua.org, Oleh: Boni Hargens
Demokrasi Myanmar tengah terkurung dalam bunker gelap. Aung San Suu Kyi, tokoh Liga Nasional untuk Demokrasi, yang sudah lama ditahan pemerintah junta militer, mendapat dukungan luas dari para tokoh agama (biksu) dan aktivis gerakan sosial, termasuk mahasiswa.
Maka terjadilah demonstrasi besar-besaran yang hingga hari ini dihadiri rata-rata 100.000 orang. Demonstrasi ini berbasis di Yangon—dulu ibu kota Myanmar, tapi oleh junta militer yang berkuasa sejak kudeta tahun 1988, ibu kota dipindahkan ke Pyinmana pada 7 November 2005 lalu
Di negara seluas 680 km? dengan populasi 43 juta jiwa ini,bayang-bayang kekerasan fisik junta tak menyurutkan semangat para pejuang perubahan. Seorang rekan aktivis muslim asal Kamboja, Meas Sokeo, yang bermukim dekat perbatasan Thailand-Myanmar mengirim pesan elektronik.Dia mengatakan senang bisa mengirim pesan ke sahabat-sahabatnya di berbagai negara tentang apa yang tengah terjadi di seluruh negeri Myanmar, tapi dia tetap bersedih membayangkan nasib rekan aktivis di Myanmar yang tak mampu membagi duka dan kesesakan karena jaringan komunikasi yang disensor sangat ketat oleh junta. Dia lalu bersaksi, andai seluruh dunia tahu apa yang sungguh-sungguh terjadi di Myanmar belakangan, Amerika Serikat dan PBB tentu sudah menjatuhkan sanksi politik dan ekonomi yang amat memberatkan pemerintah di sana.
Tapi sayang, katanya, secuil fakta sajalah yang diketahui dunia sehingga sanksi PBB atas 15 pejabat tinggi Myanmar bukan solusi yang adekuat. Di sana, bukan perkara nasib Aung San Suu Kyi lagi yang menjadi topik gerakan, bukan pula bicara soal penegakan demokrasi, tetapi sudah merembet ke soal siapa menguasai pabrik gas dan eksplorasi tambang. Sentimen antijunta sudah meluas ditambah sentimen anti-China. Mengapa? Tambang dan sumber gas sudah dikuasai oleh pengusaha China.
Ketidakadilan ekonomi bersenyawa dengan kebangkrutan demokrasi. Itulah inti kekacauan Myanmar belakangan. Apa yang diceritakan itu hampir persis tulisan B Raman (2007) di situs http//globalnewsblog.com berjudul ”Myanmar Unrest Not Only Anti-Junta, But Also Anti-Chenese”. Katanya, protes yang bermula 19 Agustus 2007 bukan sekadar antijunta, tapi juga anti-China. Raman menyebut sejumlah alasan anti-China seperti hadirnya para ahli dan pekerja China di pusat-pusat pertambangan membatasi peluang pekerja lokal untuk mendapat bagian.
Selain itu, sejumlah perusahaan China sudah menguasai tambang dan pabrik gas di Arakan, kota provinsi makmur yang sekarang disebut Rakhine oleh Junta. Februari 2007 lalu, protes anti-China sudah tampak dari terbentuknya Paguyuban Biksu Muda (Young Monks’ Union) di Sittwe, salah satu kota di Provinsi Arakan yang menyerukan pemboikotan atas produk China karena dukungannya terhadap pemerintahan junta di Myanmar. Mereka melihat paradoks dalam sikap China yang merupakan salah satu negara pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB.Pada 19 September 2007 lalu, sekitar 3.000 biksu menggelar protes di Sittwe dan kota lain di Rakhine alias Arakan. Hari-hari setelah itu pun aksi terus berjalan.
***
Ada tiga pelajaran penting dari Myanmar untuk kita dan untuk semua negara berkembang yang demokrasinya gagal. Pertama, demokrasi adalah syarat dasar untuk menegakkan kehidupan yang adil, manusiawi, dan setara. Namun demokrasi tidak bisa dimaknai sebagai sekadar prosedur, tapi substansi yakni kebebasan, keadilan, kesetaraan, dan penegakan hak asasi manusia. Tanpa nilai-nilai tersebut, demokrasi tak beda dengan junta militer atau sistem otoriter lain. Myanmar memperlihatkan wajah buruk dari sistem politik yang tak demokratis secara substansial. Kedua, di antara berbagai nilai demokrasi, salah satu yang paling mendasar adalah kebebasan. Amartya Zen (1999) terbukti benar bahwa perkembangan manusia di suatu negara diukur dari kadar kebebasannya.
Development as Freedom, judul buku Zen yang mendapat hadiah Nobel beberapa tahun lalu berarti ‘pembangunan adalah kebebasan’. Artinya, bukan angka pertumbuhan ekonomi yang didapatkan dalam rumus dan teori canggih yang menentukan bobot pembangunan dalam suatu negara, melainkan apakah setiap orang dalam negara merasakan kebebasan yang manusiawi atau tidak. Yangoon, Sittwe, dan kota-kota basis gerakan Myanmar hari ini merupakan tempat yang mencatat sejarah bahwa demokrasi adalah kebebasan. Tanpa kebebasan, manusia tak mampu memanusiakan diri dan sesamanya. Perjuangan Aung San Suu Kyi, lepas dari target politik apa pun, merupakan perjuangan kebebasan.
Lantas mengapa tak dari dulu para monks dan mahasiswa mendukung Suu Kyi? Kenapa sejak Agustus 2007 baru ada aksi massal? Kebebasan adalah kata kunci. Ketika ruang publik Myanmar tak lagi menciptakan kebebasan yang manusiawi, dalam proses sejarah, masyarakat akan dengan sendirinya melawan. Revolusi ditunda, kata Kautsky, salah satu pemikir Marxis. Kautsky bilang, tak perlulah kita merekayasa kesadaran buruh untuk melakukan revolusi melawan kapitalisme. Buruh, pada waktunya, ketika kesadarannya utuh, ketika potensinya maksimal, dan ketika penindasan atasnya tak tertahankan lagi, akan bangkit dan bergerak melawan. Kautsky tentu tak sepenuhnya benar.
Kesadaran autentik buruh dan seluruh kelas tertindas dalam sebuah negara harus selalu berkorelasi dengan rekayasa sistemik agar bisa terjadi perlawanan untuk perubahan. Di Myanmar, tanpa kesadaran autentik masyarakat dan tanpa kerja keras aktivis demokrasi, tak mungkin terjadi gerakan besar seperti sekarang ini. Di sinilah pentingnya masyarakat dan kelas intelektual berpadu, bekerja sama mendorong perubahan. Pelajaran ketiga, dalam konteks keadilan ekonomi. Negara harus menegakkan keadilan ekonomi.
Susah dibendung bahwa gerakan para biksu dan mahasiswa di Myanmar, cepat atau lambat, bakal menumbangkan kekuasaan junta. Energi gerakan itu amatlah besar karena ada satu kesadaran kolektif di kalangan demonstran yakni bahwa negara tidak adil terhadap mereka, negara membatasi hak-hak mereka sebagai warga negara untuk menikmati hidup yang normal di negerinya sendiri. Untuk Indonesia sendiri, kesadaran dan aksi serupa potensial terjadi ke depan kalau pemerintah tetap saja tidak tegas dalam menyikapi kehadiran berbagai perusahaan multinasional di berbagai tempat yang memicu konflik dengan masyarakat lokal.
PT Freeport di Timika adalah salah satu perusahaan yang selalu terlibat konflik. PT Merukh di Lembata, NTT, belakangan menjadi soal terkait rencana eksploitasi tambang di sana. Kalau negara tidak tegas, kerusuhan kerap menjadi konsekuensi logis. Di banyak kawasan penghasil emas di Afrika, negara harus sibuk mengurus konflik di pusat-pusat pertambangan antara masyarakat lokal melawan perusahaan.
***
Demokrasi adalah keadilan. Keadilan ekonomi adalah aspek paling universal yang harus dihargai oleh negara. Peperangan di dalam sebuah negara kerap terjadi karena ketidakadilan ekonomi. Mindanao National Liberation Front di Philipina terkait pula dengan konsentrasi ekonomi yang berlebihan di Manila, sementara daerah selatan agak tertinggal. Demikian pula pemberontak Pattani di Thailand bagian selatan.
Kalau disederhanakan juga, Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi Papua Merdeka di Indonesia, tak beda dengan separatisme di negara lain. Ketidakadilan ekonomi adalah akarnya. Maka pelajaran paling penting dari Myanmar adalah negara harus memperhatikan keadilan di segala dimensi kehidupan masyarakatnya jika ingin menghindari darah dan asap. (*)

Boni Hargens
Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia
Direktur Bidang Riset Parrhesia Institute, Jakarta

Tidak ada komentar: