Senin, 24 Oktober 2011

Desa Malanuza Cocok Untuk Budidaya Hortikultura

Bajawa,FajarBali------Diam-diam Desa Malanuza mengubah brand dari kawasan pendidikan seiring berdirinya kampus STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan ) ‘Citra Bakti’ yang nantinya menjadi kawasan ‘kemilau’, karena juga dijadikan pengembangan tanaman hortikultura. Jumlah lahan dan tingkat kesuburan tanah desa Malanuza sangat menunjang program pemerintah daerah Ngada untuk mengembangkan tanaman hortikultura, hal ini disampaikan Kepala Desa Malanuza, Martinus Mame saat ditemui wartawan FajarBali di Desa Malanuza (Sabtu, 1/10/2011). Mame menjabarkan, kiatnya untuk mendorong warga agar membentuk kelompok, untuk melakukan pembelajaran terkait budidaya tanaman hortikultura seperti, terung, cabe keriting, tomat, kacang-kacangan, sayuran. Menurut Mame, bilamana nantinya produksi hasil pertanian dapat membuahkan hasil yang maksimal bukan tidak mungkin mampu menopang sektor pertumbuhan ekonomi lainnya. Kata Mame, Malanuza terdapat lima kebun percontohan yang dikelola oleh kelompok Tani yang berjumlah 20 anggota, dalam satu kebun luas lahan sekitar 4 – 5 are, yang ditanam tanaman variatif kategori hortikultura atau tanaman jangka pendek, ‘Dua – Tiga bulan sudah menikmati hasil’, Timpal Mame. Harapan meraup rupiah dari usaha hortikultura ini kiranya tidak menjadi isapan jempol belaka, hal ini diungkapkan oleh Raymundus Nono di, selain tergabung dalam kelompok tani yang mengelola kebun percontohan, ia juga punya usaha budidaya hortikultura di lahan milik sendiri, seperti kebun tomat, terung, cabe jenis keriting, kacang-kacangan seluas 8 are. Nono mengatakan baru saja memanen buah tomat jenis ‘martha’ kedelapan kali sebanyak hampir 300 kg dan menjualnya kepada pembeli yang berasal dari Maunori dan Boawae, 1 kg tomat berharga 5000 rupiah. Padahal tanaman tomat dalam satu tahun bisa panen minimal tiga kali, belum hasil dari tanaman cabe ‘keriting’ yang memiliki nilai jual 25.000/kg. ‘Jadi sebenarnya menjadi petani bisa sejahtera bila mengerjakan sektor pertanian hortikultura secara serius’, tambah Nono.
Lain halnya saat media mengunjungi lokasi milik Kelompok Tani ‘Mae More’ yang berada di RT 03. Kebun tomat dan cabe milik kelompok nampak subur dan memiliki buah yang memikat calon pembeli apalagi dalam pemupukan sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia, ‘semua jenis pupuk yang digunakan adalah organik’, kata Rosadelima Woga salah satu anggota kelompok tani Mae-More, Hal itu juga dibenarkan oleh anggota kelompok yang lain salah satunya, Nikolaus Rimo. Woga menceritakan bahwa bibit tanaman yang dipakai adalah kerjasama antara BP3KP bersama Proyek FEATI bantuan dari Jerman.
Beberapa keluhan warga Malanuza terkait prospek pengembangan budidaya hortikultura ini adalah kendala kendala air dan nilai jual hasil yang kadang gampang anjlok dipasaran secara drastis , contohnya tomat karena biasanya barang luar masuk tanpa proteksi kualitas hanya karena harganya murah dengan mudahnya membanjiri kawasan tomat ini, seperti dulu tomat mencapai harga 10000/kg dengan asumsi matang dipohon, namun karena barang dari luar masuk seperti dari Bima-NTB yang memiliki nilai jual lebih rendah, makanya harga tomat unggulan dari Malanuza anjlok mendekati harga 5000/kg. Warga mengharapkan campur tangan pemerintah Ngada terkait dua hal tersebut untuk mencari solusi dan mengatasi kesulitan warga desa Malanuza. Desa ini memiliki jumlah penduduk kurang lebih mencapai 3000 an jiwa. Sebagai desa yang mempunyai obsesi besar yang digemakan oleh Martinus Mame, Kepala Desa Malanuza untuk mengkombinasikan antara kawasan pendidikan dan Pusat Pengembangan Hortikultura serta tidak ada jalan lain bagi pemerintah Ngada untuk memback-up sepenuhnya impian tersebut, Imbuh beberapa warga. (fb/risdianto)

Tidak ada komentar: