Sabtu, 02 April 2011

Kerinduan Yang Terpasung Di Balik Jeruji Budaya (sebuah memoar yang dipergunjingkan di Tana Ngada)

Kerinduan Yang Terpasung Di Balik Jeruji Budaya
(sebuah memoar yang dipergunjingkan di Tana Ngada)
Karya: Mikael Risdiyanto SetyaBudi

Melintas batas imajinasi dan daya cipta, kucoba telusuri detak kehidupan Ngada yang sesungguhnya, dari Aimere hingga pantai utara, dari barat ke perbatasan Wolorowa, Sempurna adanya!
Tak pelak lagi bagai sebuah tamparan manakala kita temukan titik-titik keharu-piluan pada mereka-mereka yang diasingkan, dipinggirkan, bahkan diacuhkan!. Adakalanya kita bertanya pantaskah berbuat demikian pada sesama kita?
Merujuk lakon tiga babak karya Fridolin Ukur, seorang pujangga kenamaan yang mengisahkan dimensi kelahiran, penderitaan dan kematian. Tentu melegitimasi fakta yang sesungguhnya, bahwa banyak saudara kita yang papa dan butuh uluran tangan kita agar mampu bangkit lepas dari belenggu sengsaranya. Jangankan untuk upeti budaya, untuk bertahan hidup saja, itu sudah lebih dari cukup. Lepas pro dan kontra, menyikapi tragedi yang ada, kucoba mengurai sebuah fenomena!
Di dalam sebuah hiruk pikuk peradaban, kucoba masuk dalam relung-relungnya, canda tawa dalam setiap pesta membuat hati berbunga-bunga seolah tanda kebahagiaan telah TIBA, tetapi apa dikata, suasana hati saudara kita belum tentu sama, karena anak kita akan bertanya besok kita makan apa? (Mae Naji Robe), kenapa demikian? Karena amunisi pesta bukan dari kelebihan kita tapi dari kekurangan yang kelak harus dibayar oleh anak cucu kita, yang menjadi sebuah pertanyaan, pantaskah kita memanggulkan beban pada anak-anak kita demi kepentingan sesaat? Padahal ada cara lain agar hal demikian tidak menjadi sebuah tradisi yang berakhir menjadi sebuah tragedi!
Rentetan jalan hidup demikian bagaikan mata rantai yang saling mengait hingga pada akhirnya mewarnai dalam pernak-pernik lembaga perkawinan yang terbentuk, terkadang pasangan suami-istri merasa tidak memiliki eksistensi apalagi menyangkut otonomi manakala mulai beradu argumentasi soal materi, ironis dan menjadi sebuah KONTROVERSI……..!!
Mengulas sendi-sendi hidup demikian, bukan tabu lagi untuk dibicarakan dan bukan berarti mencari-cari seorang pemenang, melainkan mencari jalan hidup menuju sebuah ketenangan. Dari batu kita belajar ketegaran, dari air kita belajar ketenangan dan dari tanah kita belajar tentang kehidupan. Yah! Dari tanahlah kita akan menemukan sebuah jawaban.
Prof. Dr. Koentjoroningrat pernah mengatakan bahwa budaya adalah puncak-puncak karya, karsa dan daya cipta dari sebuah peradaban, dan ditilik dari pendapat ini semestinya banyak orang bijak terlahir karenanya dan seharusnya kita merelakan anak-anak kita menentukan jalan hidupnya, mereka merindukan kebebasan dan kemerdekaannya, mengekspresikan jati diri sesuai kemampuannya dan yang paling penting mereka tidak pernah melupakan nenek moyang apalagi orang tua. Percayakan kehidupan bagi mereka yang layak menerimanya.
Meretas jalan dalam sebuah perjalanan panjang, pantas menjadi torehan untuk dikenang adalah sikap bijak untuk menguntainya, walau terkadang sulit dimengerti apa maksud dari semua ini, meski semua terlahir dari NURANI. Bisakah kita keluar dari arena pertandingan sebagai seorang pemenang tanpa ada maksud mempermalukan orang? Why Not…………. (Molo Kae)

“ Apabila saya tidak mencatat temuan-temuan saya, saya tentu akan melupakan begitu saja, apabila saya mencatatnya, niscaya saya tidak akan melupakannya”
(Bethoven, Komposer Dunia).

Tidak ada komentar: