Minggu, 01 Maret 2009

Teori Ekonomi Gelas Anggur

timoEr
[teguh santosa]
Pidato Terlarang: Ekonomi Gelas Anggur
February 2, 2009 in JALAN BARU
RIZAL RAMLI kini berstatus tersangka. Ia dituduh menghasut dan menyebarkan kebencian yang menyulut kerusuhan pada tanggal 24 Juni 2008 lalu, beberapa saat setelah DPR setuju membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kenaikan harga BBM dan tata niaga BBM.
Hasutan itu, menurut Bareskrim Mabes Polri yang tengah menangani kasus ini, disampaikan Rizal Ramli dalam pidatonya di depan aktivis pergerakan mahasiswa tanggal 24 April 2008 di Wisma PKBI.
Apakah benar Rizal Ramli menghasut?
Berikut ini adalah bagian pertama dari pidato Rizal Ramli yang telah dibukusakukan itu. Judul asli pidato ini adalah: Menentukan Jalan Baru Indonesia.
Selamat membaca!
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera dan selamat pagi.
Saya ucapkan selamat datang kepada tokoh-tokoh pemuda dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Saya memahami, di sini hadir teman-teman dari Jawa Timur, Jawa Barat, Bandung, Garut, Tasik, Jawa Tengah. Juga hadir teman-teman wakil dari petani, pemuda, dan aktivis pergerakan.
Saudara-saudara, tahun ini adalah “100 Tahun Kebangkitan Nasional” yang dimulai sejak 1908. Tahun ini juga 63 tahun usia kemerdekaan kita, dan 10 tahun reformasi. Tetapi mayoritas rakyat kita, saya bicara 80 persen yang paling bawah, belum pernah bangkit sama sekali. Belum pernah menikmati kebangkitan dan kesejahteraan. Belum bisa hidup nyaman. Justru saat ini kehidupan bangsa kita sangat, sangat sulit sekali.
Klik disini untuk melihat tulisan lain yang berkaitan dengan Pidato Terlarang ini.
Kalau sepuluh tahun yang lalu, krisis ekonomi dan moneter, awal reformasi, yang terpukul adalah bisnis-bisnis besar dan para professional, karena mereka banyak mengutang dalam mata uang US dollar. Pada waktu itu ekonomi rakyat, usaha kecil dan menengah (UKM), justru menjadi dewa penyelamat perekonomian nasional.
Tetapi sepuluh tahun kemudian, saat ini, konglomerat, para pebisnis besar dan para professional, sudah kembali kokoh. Bahkan ada yang lebih kokoh dibanding sepuluh tahun yang lalu. Tetapi krisis yang sekarang ini, justru mayoritas ekonomi rakyat, usaha kecil dan menengah yang yang paling terpukul.
Kami baru kembali dari pejalanan terus menerus ke berbagai daerah. Di Jawa Tengah, Jawa Timur, ternyata penjualan usaha kecil dan menengah itu anjlok sampai sekitar 40 persen. Daya beli masyarakat kita sungguh terpukul. Jadi boro-boro lebih baik, setelah sepuluh tahun reformasi, kehidupan justru semakin sulit.
Tentu ada pertanyaan mendasar: Mengapa setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional, setelah 63 tahun merdeka, dan 10 tahun reformasi, kok mayoritas rakyat kita tidak dapat apa-apa?
Nah, saudara-saudara sekalian, ternyata proses reformasi itu telah dibajak oleh kekuatan-kekuatan lama, kekuatan yang memiliki uang, yang akhirnya membelokkan arah reformasi itu. Reformasi juga telah dibajak oleh pikiran-pikiran lama. Sehingga walau pun ada perubahan politik dari otoriter ke demokrasi, walau pun sudah ada perubahan presiden, partai politik dan sebagainya, tetapi jalan yang dipakai dalam bidang ekonomi masih ”jalan lama”, jalan yang telah 40 tahun terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Sudah tentu, kalau kita melihat perbandingan Orde Baru dan Orde Lama, memang ada sedikit kemajuan di bidang ekonomi. Di zaman Bung Karno, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 3 persen. Sedangkan pada zaman Soeharto ekonomi kita rata-rata tumbuh 6,5 persen. Ada kenaikan 3,5 persen rata-rata dari Sukarno ke Suharto. Tetapi biaya rezim Suharto untuk menaikan pertumbuhan ekonomi yang 3,5 persen itu sangat mahal.
Suharto meninggalkan hutang luar negeri US$ 150 milyar. Pemerintah Orba juga menggunduli hutan. Tadinya hutan kita itu masih hijau pada awal Orba berkuasa. Sekarang itu kira-kira tinggal 1/3-nya yang hijau. Nilai hutan yang digunduli itu paling tidak US$ 100 milyar. Belum dari tambang dan lain-lain, yang nilainya minimum US$ 140 milyar. Jadi biaya untuk kenaikan yang 3,5 persen itu, total Orde Baru menghabiskan sekitar US$ 400 milyar. Hasilnya apa?
Hasilnya, ekonomi Indonesia dikendalikan hanya oleh 400 keluarga yang menguasai ribuan perusahaan. Mayoriytas rakyatnya hidup pas-pasan saja, dan kalau kita lihat struktur ekonominya, persis seperti gelas anggur ini (DR Rizal Ramli mengangkat gelas minuman bergagang panjang).
Ya, jadi yang di atas ini usaha-usaha besar dan BUMN yang tidak efisien, kemudian pegangannya ini, yang kecil sekali, menjelaskan tidak adanya usaha skala menengah. Tidak ada golongan menengah yang kuat. Kemudian sisanya yang di bawah, adalah jutaan usaha kecil ekonomi rakyat. Jadi struktur seperti gelas anggur ini sama sekali tidak adil, dan juga tidak baik untuk demokrasi karena labil.
Struktur yang ideal itu adalah strukturnya seperti piramida. Struktur seperti piramida ada yang besar yang efisien, ada golongan menengah yang kuat, ada usaha kecil dan ekonomi rakyat yang juga efisien.
Nah, struktur “ekonomi gelas anggur” itulah hasil dari jalan lama yang dianut oleh Orba dan dilanjutkan oleh pemerintah saat ini. Itulah struktur (ekonomi) yang membuat mereka (konglomerat) itu besar karena dapat macam-macam fasilitas. Dulu dapat hak monopoli, dikasih kredit berbunga murah, dapat perlindungan tarif, dapat kuota, dan sebagainya. Jadi, negara itu justru membantu yang kuat karena mereka yang mampu (memberikan upeti). Sementara golongan menengah ke bawah nyaris tidak ada sama sekali. Padahal yang paling bawah, yang menjadi landasan dasarnya itu, terdiri dari jutaan usaha kecil dan menengah, ekonomi rakyat.
Kalau ditanya untungnya, golongan ekonomi menengah ke bawah ini nyaris tidak ada sama sekali. Jadi mereka yang terdiri dari jutaan usaha kecil dan ekonomi rakyat itu, kalau ditanya untungnya berapa, rata-rata untungnya sangat rendah, kurang dari 5 persen. Itu pun karena tenaga sendiri, tenaga keluarganya yang bekerja, biasanya tidak dihitung, tidak dibayar. Kalau dihitung tenaga mereka dan keluarganya, ini sebetulnya tingkat keuntungannya negatif. Karena itu, banyak yang makan modal.
Nah, sistem ekonomi yang seperti ini sungguh tidak adil. Karena secara tidak langsung kelompok ekonomi menengah ke bawah ini menyubsidi yang di atas, yang besar. Itulah salah satu penyebab mengapa mayoritas dari bangsa kita belum menikmati hasil yang optimal.
Di negara-negara lain seperti Korea, juga Jepang, yang besarnya itu bukan jago kandang, tapi jago di pasar internasional. Produk-produk mereka bisa diekspor sehingga nilai tambahnya itu dari luar negeri dan dibawa masuk, untuk menciptakan tambahan lapangan kerja di dalam negeri.
Menurut kami, struktur (ekonomi gelas anggur) inilah yang harus kita ubah. Struktur yang bagaikan gelas anggur ini yang harus kita ubah menjadi struktur piramida. Dengan begitu semua potensi rakyat Indonesia bisa dibalikkan menjadi nilai tambah, dan menciptakan kesejahteraan. Sayangnya pemerintah Yudhoyono ini adalah pemerintah ”Orba bungkus baru”, dengan kepemimpinan yang tidak efektif. Kepemimpinannya lemah sekali.
Jadi apa gunanya kita melakukan perubahan dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis? Apa gunanya reformasi kalau yang terjadi ternyata ini masih obat lama, ”jalan lama” yang dibungkus dengan kepemimpinan yang lemah sekali.
Saudara-saudara, itu kalau kita lihat strukturnya. Lalu bagaimana kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain di Asia Timur?
Saudara-saudara, 40 tahun yang lalu seluruh negara di Asia Timur pendapatan rakyatnya rata-rata hanya US$100 per orang. Cina bahkan hanya setengahnya, USD 50 per orang. Tapi sekarang, 40 tahun kemudian, Malaysia itu lima kali dari kita sehingga lebih dari dua juta rakyat Indonesia bisa bekerja sebagai TKI di Malaysia. Kok bisa, sama-sama mayoritas Melayu, kok Malaysia bisa maju rakyatnya? Kesejahteraannya 5 kali lipat dari rakyat kita?
Taiwan sekarang pendapatan per kapitanya 16 kali dari kita, sehingga banyak saudara kita yang bekerja di Taiwan sebagai TKI. Korea Selatan malah lebih 20 kali dari kita. Dan Cina, yang terlambat melakukan refomasi, baru dimulai oleh Deng Xiaoping pada 1985, sekarang penghasilan rakyatnya 1,4 kali dari rakyat Indonesia. Cina kini malah telah menjadi raksasa ekonomi, politik dan militer di Asia.
Saudara-saudara, tentu ada sesuatu yang salah. Kenapa negara-negara lain kok bisa lebih cepat maju dari negara kita? Rakyatnya punya pebekerjaan, sehingga mereka bisa hidup lebih nyaman, lebih sejahtera. Sedangkan kita, sama sekali tidak maju.
Saudara-saudara, jalan yang gagal itu, yang sudah 40 tahun dipakai, kami sebut “Jalan Lama”, yaitu jalan ekonomi yang diatur oleh apa yang sering disebut ”Washington Consensus”. Dengan perangkat dari Washington, di mana banyak hal, termasuk perundag-undangan, kebijakan dan peraturan pemerintahan kita, dipesan dan diatur oleh kekuatan-kekuatan luar seperti Bank Dunia, IMF dan sebagainya.
Saya berikan contoh. Indonesia pernah diimingi-imingi pinjaman US$ 400 juta oleh Bank Dunia pada 2002. Syaratnya, Indonesia mesti bikin Undang-undang Migas yang salah satu pasalnya mengatakan: Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 25 persen produksi gasnya.
Bayangkan. Kita penghasil dan eksportir gas terbesar di Asia, tetapi kita tidak boleh pakai gas kita sendiri, maksimum hanya 25 persen. Akibatnya kita kesulitan gas. Akibat lainnya, dua pabrik pupuk di Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan PT ASEAN Aceh Fertilizer, tutup karena tidak ada pasokan gas!
Saudara-saudara, apa ini namanya? Ini namanya adalah ”penjajahan model baru”. Ini namanya kolonialisme baru. Dulu Sukarno-Hatta berjuang puluhan tahun, dipenjara di mana-mana di Indonesia, di Sukamiskin, di Banda, dll. Di mana-mana mereka perjuangkan agar rakyat kita merdeka secara politik, merdeka secara ekonomi, dan merdeka secara budaya (Tri Sakti).
Tapi yang terjadi sekarang justru yang terbalik. Terbalik karena kita sekarang tidak merdeka secara politik. Ya politik luar negerinya yang masih manut sama negara-negara besar, tidak betul-betul independen. Ya ekonomi kita yang diatur kekuatan lain. Itu namanya, isitilah kita, dijajah kembali tapi tidak secara langsung, tidak secara fisik, tidak secara militer. Tapi ekonominya diatur, dan tidak mungkin si pengatur (asing) itu membuat rakyat kita makmur.
Nah, di Asia Timur hanya 2 negara yang ikut dan diatur ekonominya oleh lembaga seperti Bank Dunia, negara besar yaitu Indonesia dan Filipina, dua-duanya gap jarak antara yang kaya dan yang miskin sungguh luar biasa, dua-duanya pengganggurnya banyak sekali dan dua-duanya ekspor tenaga kerja wanita, yang satu bisa bahasa Inggris yang lainnya tidak bisa bahasa Inggris itu saja bedanya.
Nah, saudara-saudara, kita harus percaya ini. Kami percaya, kita bisa mengubah keadaan ini. Tidak mungkin kita biarkan bangsa ini makin lama makin terperosok, kehidupan rakyatnya makin sulit, presidennya sibuk bikin CD dan nyanyi-nyanyi. Kayak kurang kerjaan… Lagunya selangit!
Waktu kami di Jawa Timur, kami ajukan pertanyaan sederhana kepada beberapa petani dan beberapa kyai. Saya tanya, dan saya juga ingin saudara menjawab. Saya ingin tahu mana bedanya pemuda (di sini) dengan petani di Jawa Timur. “Saya mau tanya, masuk akal tidak Indonesia impor setiap tahun dua juta ton beras? Masuk akal nggak? Masuk akal tidak setiap tahun kita impor 1,6 juta ton gula? Masuk akal tidak kita impor 1,8 juta ton kedelai setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor jagung 1,2 ton setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor satu juta ton bungkil setiap tahun untuk makanan ternak?”
(Hadirin: “Tidak…!”)
Saudara kurang kencang ngomongnya! Petani di Jawa Timur lebih kencang dari saudara. Saya jadi malu lihat pemuda. Masuk akal tidak kita impor 1,5 juta ton garam setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 800 ribu ton beras setiap tahun? Masuk akal tidak kita impor 100 ribu ton kacang tanah setiap tahun?
(Hadirin: TIDAAAK..!!”)
Lho…, kok bisa kejadian? Ah, masuk akal, karena pemerintahnya tidak berpihak kepada petani. Masuk akal karena pemerintah itu berpihak kepada importir produk-produk pangan.
Saudara-saudara, kalau kita jalan-jalan di luar negeri, atau di Bali, kita lihat sekelompok turis Jepang yang pakaiannya sederhana sekali. Turis Jepang kan selalu pergi beramai-ramai. Kalau kita tanya pekerjaan mereka apa, mereka bilang: Petani. Kita tanya lagi, luas tanahnya berapa? Tanahnya hanya 0,5 hektar. Di Jawa petaninya rata-rata juga punya tanah segitu, 0,5 hektar.
Kok bisa petani Jepang, petani Taiwan, dengan tanah garapan rata-rata 0,5 hektar, jadi turis dan pergi ke seluruh dunia? Tanahnya hanya setengah hektar. Kok petani Indonesia nggak bisa?
Waktu di Jawa Timur, ada satu kiai nyeletuk kepada kami, “Boro-boro jadi turis, Pak, ke Jakarta aja kita susah. Kalau kita mau keluar negeri, anak kita mesti jadi TKI dulu…!”
Kok bisa? Kenapa petani Jepang bisa, kenapa petani Taiwan bisa? Karena pemerintahnya pro petani.
Caranya bagaimana? Tentu oleh pemerintahnya dibikinkan irigasi yang bagus, sudah tentu juga dikasih bibit yang unggul. Satu batang padi di Indonesia, butir padinya hanya 150 butir. Di Jepang dan Taiwan padinya per batang bisa menghasilkan 400 sampai 500 butir. Tidak aneh kalau produksinya satu hektar bisa mencapai 8 sampai 10 juta ton.
Tapi yang paling penting, dan ini yang paling penting, ada kebijakan (pemerintah mengenai) harga untuk menjaga harga hasil produk-produk pertanian. Harganya tetap bagus. Caranya bagaimana? Caranya dikasih perlindungan, dikasih tarif, sehingga produk (pertanian) impor menjadi mahal di negerinya. Amerika juga melakukan itu. Eropa apalagi!
Makanya, tidak mudah kalau kita mau ekspor barang pertanian ke Eropa. Bisa kena tarif, kena aturan teknis, kena standar, kena kriteria macam-macam. Susah. Nyaris nggak mungkin kita bisa ekspor produk pertanian ke Eropa. Demikian juga ke Jepang. Sehingga produk pertanian di sana itu bagus. Mau tidak mau pendapatan petani juga tinggi. Apalagi kredit untuk petani di sana sangat mudah, dipermudah dan dipermurah bunganya.
Intinya, yang paling penting, pemerintahannya pro petani. Di Jepang partai yang berkuasa, LDP (Partai Demokratik Liberal) bisa berkuasa hingga 60 tahun lebih karena pro-petani. Begitu dia tidak pro-petani, beberapa tahun lalu, pemerintahan LDP jatuh. Tiga tahun digantikan partai oposisi.
Jadi, ada kaitan langsung antara kepemimpinan dan kekuasaan dengan kebijakan pemerintahnya: Pro-petani dan pro-buruh atau tidak?
Demokrasi di Indonesia sebaliknya. Kekuasaan, sebelum dipilih, sibuk bujuk rakyat. Setelah dipilih, lupa sama rakyat. Sibuk dengan nyanyi-nyanyi dan bikin CD. Garis kebijakannya nggak ada hubungannya dengan rakyat biasa, tidak ada hubungannya dengan petani, karena di atur oleh negara-negara maju dan lembaga seperti IMF dan Bank Dunia.
Sebetulnya, kalau kita ingat 10 tahun yang lalu, tarif barang-barang di dunia begitu tinggi. Tapi pemerintah Indonesia ditekan oleh IMF. Seluruh tarif sektor pertanian ditekan menjadi nol, bahkan menjadi hanya 5 persen. Akibatnya, bertani itu menjadi tidak menguntungkan. Seandainya pada waktu itu kita tidak menyerah kepada IMF, tarif produk pertanian masih tinggi hari ini, pada saat dunia kesulitan pangan, Indonesia seharusnya justru bisa menikmati manfaat kenaikan dari kenaikan harga pangan itu.

Tidak ada komentar: