Jumat, 06 Maret 2009

Radio Netherland

Jika Terus Keras Kepala, Indonesia Bisa Kehilangan Dukungan Internasional
Hilversum, Jumat 04 Juli 2003 08:30 WIB
Menang opini publik dalam negeri bukan berarti mendulang emas perpolitikan luar negeri. Operasi terpadu TNI menyerbu Aceh mulai menyita keprihatinan internasional. Padahal sebelumnya Jakarta sempat berbunga-bunga karena dunia internasional menegaskan komitmennya mendukung Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI. Namun belakangan dukungan itu dinodai perilaku arogansi Jakarta sendiri yang mengacuhkan himbauan untuk memperhatikan HAM dan permintaan kembali berunding dengan GAM. Kalau begini terus bisa jadi dukungan akan menyurut. Lebih jauh laporan koresponden Jopie Lasut dari Jakarta.
Indonesia pekan ini menuai dua kecaman lagi dari dunia Internasional. Kecaman pertama datang dari Amerika Serikat yang menyesalkan vonis lima tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Banda Aceh terhadap Muhammad Nazar, Ketua Presidium Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA). Menurut penilaian Richard Boucher, juru bicara Deplu AS, vonis tersebut terlalu berlebihan untuk seseorang yang menggunakan haknya untuk beraktivitas politik secara damai.
Kecaman kedua datang dari pemerintah Jerman menyusul Inggris dan Amerika yang melarang penggunaan pesawat dan tanknya dalam operasi militer di Aceh. Kini giliran Jerman memprotes penggunaan kapal-kapal bekas -yang dulu dibeli pemerintahan Soeharto atas desakan Habibie kala masih menjadi Menristek- dari negaranya untuk mendukung operasi TNI di Aceh. Menanggapi kecaman Jerman tersebut, Rini M.S. Soewandi Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada pers mengatakan, protes ini aneh sekaligus menjengkelkan.
Kecaman demi kecaman asing yang berujung pada sanksi berupa tekanan ekonomi dan politik dalam bentuk embargo seperti yang dilakukan oleh AS misalnya, membuktikan kegagalan Indonesia dalam membangun citra sebagai negara dan bangsa. Sebuah citra negara dan bangsa yang mengaku berpijak pada nilai-nilai demokrasi, hukum dan hak-hak asasi manusia. Namun demikian, mungkinkah kecaman ini dilakukan karena pihak asing membaca kelemahan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa?
Prabowo Subianto mantan Pangkostrad dan mantan menantu Soeharto di Kalimantan Selatan dan Banjarmasin baru-baru ini mengatakan bahwa Indonesia pada zaman orde baru sempat disegani oleh negara-negara barat. Kini Indonesia dinilai lemah sehingga mudah dipermainkan. Tetapi kalangan pro demokrasi justru mengatakan, Indonesia menjadi lemah seperti sekarang ini karena ulah orde baru juga.
Soeharto selama 32 tahun berkuasa sama sekali tidak mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang tangguh yang mampu mempertahankan Indonesia sebagai negara bangsa yang kuat. Dominasi militer yang kuat kala itu juga turut memperburuk eksistensi Indonesia. Kesenjangan antara pusat dan daerah, sentralisme pemerintahan yang terpusat pada seorang Soeharto serta anti demokrasi, inilah yang merupakan bibit-bibit yang disemai oleh Soeharto kala berkuasa.
Habibie yang menerima tongkat kekuasaan dari Soeharto demi menarik dukungan kalangan Islam, membuka ruang bagi tumbuhnya orgainisasi massa Islam yang dahulu diharamkan Soeharto yang oleh Habibie diakui sebagai profesornya. Ruang tersebut direspon dengan munculnya pelbagai organisasi massa untuk berjihad dengan dukungan militer.
Kelonggaran ruang yang ada tersebut selanjutnya lebih dibuka dalam sebuah era yang dinamakan reformasi. Dalam era inilah, bibit-bibit yang disemai oleh Soeharto masuk dalam masa tuainya. Keinginan rakyat Aceh untuk memisahkan diri dari NKRI semakin berani ditunjukkan dengan perlawanan bersenjata secara terbuka. Pelbagai aksi terror terjadi demikan vulgar di depan mata, pertempuran berdarah antar suku seperti yang terjadi di Kalimantan, Poso, Ambon dan konflik di Papua menjadi bukti bahwa bom waktu yang ditanam Soeharto kini telah meledak!
Terakhir Minahasa dan NTT menyatakan ingin merdeka akibat disahkan UU Sikdiknas. Sebuah UU sistem pendidikan yang kelahirannya sangat fenomenal karena dipandang sebagai sebuah usaha untuk mereduksi otoritas pendidikan dengan mencampuradukkan kepentingan lain di luar pendidikan, yakni masuknya agenda gerakan-gerakan Islam.
Menyikapi hal tersebut, Chris Siner Key Timu dari Petisi 50 mengatakan bahwa kecenderungan seperti itu terjadi karena pemerintahan orde baru yang berlangsung selama 32 tahun bertumpu pada kebijakan pembangunan yang jauh dari keadilan. Inilah yang mengancam negara dan bangsa sehingga daerah-daerah yang merasa tidak diperhatikan itu sekarang mulai mengancam. Lalu ia juga menambahkan:
Chris Siner Key Timu: Sebenarnya semuanya sama bahayanya. Ketika terjadi diskriminasi antara jawa luar jawa, itu pun berpotensi untuk membuat negara bangsa ini jadi lemah. Ketika militer itu ikut mendominasi seluruh kehidupan masyarakat, itu pun akan membuat negara dan bangsa ini jadi lemah. Karena negara bangsa itu juga mengandalkan adanya suatu masyarakat civil society yang kuat. Juga masalah yang menyangkut kehidupan ideologis dalam kaitan dengan keyakinan keagamaan. Seperti ambil contoh ya dalam proses rancangan UU Sisdiknas sampai ke DPR terjadi goncangan-goncangan yang besar. Tapi juga rakyat akan berdemonstrasi kalau terjadi ketidak adilan tentang ekonomi. Jadi sama, potensinya sama.
Demikian Chris Siner Key Timu. Karenanya, kecaman internasional perlu dihargai. Karena ia dapat menjadi cermin bijak untuk mengkoreksi kegagalan yang terjadi dalam penyelenggaraan kekuasaan dalam negara dan bangsa.

Tidak ada komentar: